Khotbah Idulfitri Terakhir di Kota Revolusi

Mari buka koran mingguan Pesat edisi 19 Juli 1950. Satu peristiwa pada dua tempat berbeda berada dalam satu laporan Idulfitri di Yogyakarta dan di Jakarta. Dua kota yang bertukar posisi saat Indonesia mengarungi tahun-tahun revolusi yang berdarah.

Idul Fitri 1 Syawal 1369 hijriah atau 16 Juli 1950 di Yogyakarta dipusatkan di Alun-Alun Utara. Sementara, di Jakarta digelar di Lapangan Banteng. Naskah resmi khotbah Id di Yogyakarta disampaikan Assaad. Di Lapangan Banteng, Sukarno tampil di mimbar sebagai pengkhotbah.

Assaad yang berkhotbah di Yogya adalah “acting presiden” yang membawahi wilayah yang kita kenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Yogyakarta dan Karesidenan Kedu. Sementara, Sukarno adalah presiden Republik Indonesia Serikat yang membawahi banyak negara bagian.

Bagi Yogya, Id ‘50 adalah idulfitri pamungkas sebagai ibu kota revolusi. Sementara, Id di Jakarta adalah permulaan Indonesia melayari apa yang disebut era politik liberal.

Id ‘50 itu adalah jalur persimpangan yang sangat kritikal dan menentukan atas jalan sebuah negeri yang baru merdeka lima tahun silam atau idulfitri yang keenam. Revolusi membikin para elitenya mesti melakukan rotasi bentuk negara mengikuti perkembangan perang melawan kekuatan kolonial yang ingin berkuasa.

Yogyakarta adalah ibu kota revolusi yang menjadi saksi betapa melelahkannya jalan awal ini. Kekerasan itu membusukkan luka dan membikin semua-muanya mesti tawakal atas nyawa yang tiap saat direnggut.

Maka, tak salah bila pesan utama khotbah Assaat yang mewakili Yogya sebagai ibu kota NKRI dan khotbah Sukarno yang mewakili Jakarta sebagai ibu kota RIS berspirit sama, yakni semangat perdamaian. Kita semua sudah lelah dengan desing kekerasan.

Dengarkan khotbah Assaat: “Justru pada hari jang mulia ini harus kita bermaaf-maafan dengan sesungguh-sungguhnja, membuang djauh rasa dendam kepada sesama bangsa kita terutama sesama ummat Islam. Dengan sikap begini akan lenjaplah segala sumber2 perpetjahan antara kita sama kita jang sangat menghambat dan melambatkan usaha pemerintah mengadakan konsolidasi dan rekonstruksi dewasa ini. Allohu Akbar 3x”.

Dengarkan khotbah Sukarno: “Kini udara diluar gelap. terdjadi pertentangan hebat antara bangsa dan bangsa. Tetapi djika bangsa Indonesia tidak suka bertentangan sendiri, atas dasar jang sutji, maka insja Allah, orang lain itulah jg akan tjelaka sendiri, dan bangsa Indonesia akan bahagia. Kita harus memegang tekad semula. Tekad menjelesaikan revolusi nasional dulu. Kita harus bersatu. Djangan bertengkar perkara jg ketjil2, sehingga merugikan revolusi nasional kita”.

Tetapi, realitas dalam khotbah keagamaan dan dinamika politik kerap lebih banyak tak sejalannya dengan realitas. Seruan agama yang besar diuji oleh apa yang disebut Sukarno dengan “bertengkar perkara jg ketjil2”.

Agama membicarakan sesuatu yang relung dan memancing renungan, sementara politik menggaungkan yang remeh, bersifat harian dan memancing ribut berkepanjangan. 

Seusai Indonesia kembali mencoret kata “Serikat” di Republik Indonesia pada 32 hari setelah khotbah Idul Fitri itu, keberisikan politik pun dimulai. Mohammad Natsir yang ditunjuk sebagai perdana menteri dari Masyumi tidak bisa bertahan sampai 200 hari. 

Apa yang dibilang Sukarno sebagai “udara diluar gelap” membentuk rasi pemberontakan yang digerakkan eksponen DI/TII, Andi Azis, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), dan Republik Maluku Selatan (RMS).

Lihat, khotbah perdamaian Id ‘50 langsung diuji politik liberal yang membikin kabinet jatuh lebih cepat. Spirit damai tak berdaya sama sekali di hadapan butho politik di mana Indonesia memang berada di titik gamang.

Revolusi memang selalu membuat gamang sebuah negeri. Yang sukses secara ekonomi dan mendapatkan jatah kemakmuran sebagai elite baru Republik berterima kasih kepada revolusi, sementara yang tersingkir akan menjadi paria, menjadi lumpen. Atau, dalam bahasa Emha Ainun Nadjib, menjadi “gelandangan di kampung (negara) sendiri”.

Assaat yang memimpin NKRI sebagai “acting presiden” di ibu kota revolusi Yogyakarta menjadi salah satu anak yang dimakan revolusi itu sendiri. Ia menjadi lumpen di hutan-hutan Sumatra Barat karena diburu oleh militer sebagai pemberontak (PRRI). Tak pernah terbayangkan olehnya atau oleh kita semua, bagaimana kelak ia diempaskan Sukarno yang berkuasa di Jakarta dan meringkuk dalam penjara busuk bersama elite-elite politik yang kalah dalam pertarungan politik setelah tahun 50-an dipungkasi.

Dinamika politik harian yang ganas itu kerap membuat kita berpikir ulang bagaimana tema perdamaian dan maaf-memaafkan yang terus-menerus direproduksi dari idulfitri ke idulfitri menjadi taik kucing belaka di hadapan politik Republik saat memulai kehidupan baru setelah album revolusi Yogyakarta ditutup.

Di satu sisi, nilai silaturahim dari teks idulfitri terasa seperti pepesan kosong belaka. Antara agama dan politik seperti sepasang sapi liar berbeda jenis menarik cikar Republik yang kerap tak stabil jalan dan larinya. Serupa ironi antara ceramah seorang wali kota di ibu kota negeri berlabel “Bandung Lautan Api” yang beberapa jam sebelumnya ceramah pentingnya nilai baik agama untuk jujur, tetapi beberapa jam setelahnya ditangkap karena korupsi, karena mencuri.

Yakinlah bahwa ironi-ironi seperti itu tak mengherankan sama sekali. Republik mengajarkan mereka dengan setepat-tepatnya, sepresisi-presisinya.

Kerap, idulfitri itu hanya jeda sehari untuk tidak saling “bertengkar dengan hal-hal sepele”. Sementara, 300-an hari lebih itu adalah pasar transaksi politik yang riuh dan lengkap dengan paket-paket kejahatan gelap yang mengiringinya. 

Sesungguhnya, khotbah idulfitri pamungkas di ibu kota revolusi itu adalah tapal bagaimana rapuhnya nilai esoterisme agama di hadapan dinamika politik sehari-hari manusia Republik. Khotbah Assaat dan Sukarno di mimbar Id ‘50 dan politik yang mereka jalankan di luar idulfitri adalah warisan yang terus kita jalankan hingga hari ini. Itu.*

* Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos Edisi Akhir Pekan, 29 April 2023