Kesaksian dari Bawah Panggung Showbiz

Buku tentang musik itu jarang. Dari yang jarang itu umumnya bertopik biografi, disusul dengan sejarah. Novel jarang sekali. Apalagi, novel yang ditulis oleh sosok yang selama ini tak berjarak dengan panggung pertunjukan musik.

Kelangkaan novel yang mengambil pertunjukan musik sebagai jantung pengisahan diisi oleh buku ini. 

Ahmad Sobirin adalah sosok yang tak terpisahkan dan menjadi saksi perjalanan Prambanan Jazz Festival, JogjaROCKarta, dan kini ia mengemudikan channel televisi musik i-konser yang rutin menghelat pertunjukan musik indoor. i-konser adalah saluran musik televisi digital pertama yang menginduk di IndieHome.

Festival Kesunyian adalah novel perdana Asob, demikian ia disapa. Antara judul dan tema besar novel ini tampak bertabrakan. Konser musik bukannya sebuah pertunjukan seni dengan ciri hura-hura, bising, ramai. Sementara, sunyi itu hening, tapa, seperti candi dan batu-batu purba yang tetap teronggok sendiri berhadapan dengan cuaca dan waktu.

Kesunyian itu, tulis Asob, adalah dada para penyelenggara festival. Dalam party, mereka bekerja tanpa suara dan memastikan dari bawah panggung bahwa seluruh keriuhan itu tak terganggu oleh soal kabel yang saling melilit, oleh layar yang mandek, oleh izin birokrasi yang rumit dan ajaib, dan bahkan oleh ketersediaan toilet.

Semua keriuhan yang menggembirakan itu terlaksana dengan baik hingga goodbye karena keringat dan mata nanar para pekerja di bawah dan di balik panggung yang barangkali sudah sebulan tak pernah tidur sebagaimana manusia normal.

Di novel debutan dan gendut ini, oleh karena itu, tak ada tokoh utama. Ini novel berpretensi mengangkat para pekerja panggung, bukan CEO pemilik perusahaan hiburan. Di sinilah letak menariknya.

Irma, Irawan, April, Julian, Raharja, Setiawan, Jayanti, dan belasan nama di novel ini yang silih berganti masuk dalam 510 halaman novel ini adalah para pekerja panggung.

Asob tahu bagaimana menempatkan pekerja, sebagaimana jalan hidupnya yang tetap bersetia di jalan pekerja kreatif; dari layouter buku, pembikin sampul buku, hingga menjadi “mandor” pekerja manusia-manusia panggung pertunjukan.

Manusia pertunjukan, kata Asob, adalah mereka yang bekerja sebagai pelayan kesenangan orang lain. Mereka yang menabung untuk beli tiket. Melayani geronbolan sosialita hedon yang gaduh dan ceriwis.

Ketakutan para pekerja di dunia showbiz ini adalah komplain. Ketika ada komplain, saat itulah ada layer layanan yang tidak berfungsi.

Jika menonton pertunjukan konser musik kita melihat para penampil menampilkan talenta bintang mereka di panggung sembari terkesima dan bergembira, novel ini mengajak kita menonton para pekerja hiburan di balik semua yang glamour.

Kala semua orang bergembira, mereka tetap awas, tegang, khas para pekerja di mana pun. Seperti para koki dan semua elemen di dapur sebuah restoran besar. Tak ada kegembiraan yang di wajah mereka.

Sekali lagi, di kepala mereka hanya ada satu, tidak ada komplain. Bukan saja dari halaman daring media para jurnalis, maupun di akun-akun media sosial.

Puncak ketakutan para pekerja ini adalah, sebagaimana klimaks dari konflik bawah panggung novel ini, adalah terjadinya tragedi seperti penonton yang mengalami kecelakaan atau bahkan terbunuh dalam kerumunan.

Reputasi mereka, prestasi para pekerja ini, bisa rontok semuanya. Semua persiapan dan kerja keras berbulan-bulan bisa moksa seketika dalam kelamnya malam. Citra bisa jatuh, sponsor menjauh, artis mencibir. Di era cancel culture seperti sekarang, di era “viral adalah panglima”, kecerobohan sekecil apa pun bisa membakar seluruh lumbung. 

Crack atau retakan kecil bukan hanya musuh orang-orang yang bekerja di industri penerbangan, tetapi juga ketakutan para pekerja di industri hiburan.

Novel ini mengajak kita semua tidak sekadar mengarahkan mata dalam kerlap-kerlip lampu panggung dan atraksi para selebritas dengan tubuh berzirah bintang-bintang, tetapi menyaksikan kesunyian para pekerja di belakang layar, di bawah panggung.

Mereka adalah anonimitas dari semua yang gebyar, dari semua yang glamour. Novel debutan ini adalah yang pertama merekam bagaimana mereka bekerja demi sekotak panggung yang tak seberapa luas itu. Kita kadang tak sadar, panggung yang cuma segitu saja luasnya dibangun oleh para anonim. Ya, para pekerja, para buruh industri kesenangan.*

Judul: Festival Kesunyian
Penulis: Asob Ahmad
Penerbit: Rekam Skena Publishing
Tahun: 2022
Tebal: 511 halaman