Politik Sebatang Pohon Sukarno di Padang Arafah

Sebulan setelah peristiwa akbar di kolong langit Asia terselenggara di Bandung, Konferensi Asia Afrika, Sukarno berangkat ke Saudi Arabia.

Sukarno berhaji ke Tanah Haram. Sebagai putra sang fajar yang menyaksikan sendiri sedari remaja bangkitnya pergerakan Islam dari rumah kosnya di Paneleh VII Surabaya, Sarekat Islam, berhaji menjadi sangat penting.

Namun, yang menarik dari hajinya Sukarno adalah diplomasi lingkungannya. Saya menyebutnya sebagai politik sebatang pohon.

Sebagai pemimpin dari negeri yang prototipenya seperti gambaran surga ideal dalam kitab suci–pohon yang hijau, air mengalir jernih, tanah subur gemah ripah loh jinawi–seperti itu konten diplomasi yang ingin ditunjukkan Sukarno.

Betul, tanah Indonesia kaya batu bara, emas, nikel, gas, dan minyak. Tetapi, berhadapan dengan Saudi, hal-hal itu tak meninggalkan kesan apa pun. Seperti secauk debu.

Di Padang Arafah dengan matahari yang panas membakar, insting manusia bukanlah memecah batu, menggali tanah, dan melubangi gunung, melainkan berlindung, berteduh, mengaso. Dan, di sinilah pentingnya sebatang pohon.

Pembaca bisa bayangkan, semua orang, siapa pun, tak terkecuali, bahkan sakit parah sekalipun, harus ke Padang Arafah untuk wukuf, untuk menyiapkan diri melakukan perang akbar melawan tiga iblis perusak bumi.

Di padang tandus itulah Sukarno tampil sebagai politisi genuine yang tahu bagaimana berdiplomasi yang bermartabat. Diplomasi substantif yang meninggalkan rekam jejak panjang.

Sukarno bukan hanya sekadar punya ide menanam pohon di Tanah Haram, tetapi ia juga tahu jenis pohon apa yang pas di tanah berkarakter seperti apa.

Sukarno, pemimpin yang punya hubungan ajaib dengan pepohonan, pribadi yang memiliki pengetahuan ekologi, memilih sendiri pohon yang seperti apa yang tepat ia serahkan untuk Tanah Haram, untuk menaungi jutaan tamu Tuhan dari segala sudut bumi saat menyelenggarakan wukuf.

Mimba. Ya, intaran. Di Bali, pohon yang berasal dari tanah Hindustan ini dianggap sakral. Disebut pohon hayat lantaran sifat-sifat dan karakter yang melekat dalam dirinya. Bahkan, di Bali, ada desa adat yang bernama Intaran yang diambil dari nama pohon ini.

Intaran, bagi Sukarno, dengan segala karakternya, dipilih mewakili Indonesia untuk tumbuh abadi di Tanah Haram. Intaran adalah pohon dengan batang kuat dan kulit yang terpecah-pecah menahankan sekuat-kuatnya cuaca paling ekstrem sekalipun untuk memilih tetap tegak dan hidup.

Karakter intaran ini seperti zaitun. Hanya butuh sedikit saja air untuk bisa tegak lurus dengan langit. Saking bertahannya, sebatang pohon zaitun di Palestina yang tak jauh dari Masjidil Aqsa dan sudah berumur ribuan tahun menjadi seperti dongeng hidup, menjadi pohon di-keramat-kan.

Boleh dibilang, intaran adalah karakter dari asa dan daya yang coba Sukarno perlihatkan. Seperti akar dan batang intaran, seperti itu juga karakter negeri bernama Indonesia sehabis keluar dari revolusi yang ekstrem. 

Seperti ranting dan daun intaran yang punya khasiat besar untuk kesehatan manusia, Sukarno memberitahukan bagaimana hidup mestilah bermanfaat untuk kehidupan berkelanjutan.

Diplomasi sebatang pohon intaran di Arafah, oleh karena itu, adalah simbol dari suluh menjaga api ekologi. Seperti intaran yang bisa berumur 200 tahun dan batang berdiameter dua meter, sepanjang itu juga waktu dari suluh api ekologi itu dijaga.

Di bawah naungan Intaran itulah, prajurit tauhid–ini istilah sosiolog Iran, Ali Syariati–mengumpulkan logistik untuk berperang melawan tiga berhala perusak bumi, tiga karakter yang menjadi musuh kemanusiaan: ula, wushtah, aqabah.

Trinitas itu tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama. Ali Syariati menyebut ketiganya adalah perlambangan Balam (ilmuwan/legitimator moral), Karun (oligarki), Firaun (penguasa despotik).

Di bawah naungan intaran di Padang Arafah, seperti kita saksikan di bulan Juni/Haji tahun ini, laskar tauhid dari semua bangsa berjibaku mengambil peran dalam perang penyelamatan ekologis.

Jika intaran dimaknai sebagai pohon hayat, sebagai keberlanjutan dan peneduh kehidupan, tiga berhala di Mina berada di posisi sebaliknya: perusak dan pembunuh pohon-pohon.

Pesan dari politik pohon Sukarno itu jelas, betapa pentingnya pohon bagi sebuah bangsa, betapa signifikannya hutan raya bagi sebuah negeri seperti Indonesia yang berada di sabuk katulistiwa ini.

Pohon juga adalah inspirasi bagi akar keindonesiaan kita. Tanyalah Sukarno, dari mana asas kenegaraan bernama Pancasila ia rengkuh? Jawabnya, di bawah pohon sukun di mana ia mengaso berjam-jam sambil menyaksikan hamparan laut biru Nusa Tenggara.

Jika persatuan nasional adalah azimat bangsa, dari mana Sukarno meletakkan metafora beringin kalau bukan dari kisah waringin sungsang yang terkenal dalam kisah leluhur. Ilmu pamungkas di mana akar beringin menghadap terbalik dari mana energi hidup bumi bermuasal.

Kecintaan kepada pohon yang besar (beringin) dan pohon yang berumur panjang (intaran) kemudian menginsyafi kita mengapa Sukarno menuliskan wasiat: aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus.

Pohon, oleh karena itu, bukan hanya sekadar syajarah, sejarah, narasi. “Syajarah Sukarno”, demikian nama yang diberikan Raja Saud atas mimba atau intaran. 

Menurut saya, “pohon sukarno” adalah sumbangan Sukarno terpenting dan nubuat politik ekologi berkelanjutan untuk mengikat persahabatan di Tanah Haram.

Labbaik Allahumma labbaik. Itu.*

Pohon Intaran di Padang Arafah.

– Dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos, 1 Juli 2023

– Bahan orasi kebangsaan pada Parade Rakyat Walhi Pusat di Kantor LBH Jakarta Pusat, 4 Juni 2023

– Kerangka esai dibuat secara lisan dan LIVE di hadapan peserta acara Kemah Literasi Nasional IAA X Kutub di Turi, Sleman, Yogyakarta, 23 Juni 2023