Djoko Pekik (1937—2023): “Celeng” Yang Menolak Mati Muda

Macam-macam sosok Djoko Pekik ini disebut. Maestro seni rupa yang wafat pada usia 86 tahun atau lima harmal jelang Hari Kemerdekaan itu disebut “Seniman 1 M” karena lukisan legendarisnya laku satu miliar.

Pada 1998, atau satu dekade sebelum ledakan harga seni rupa Indonesia “Part III”, lukisan Berburu Celeng mengguncang pasar seni. Selain karena harganya, juga karena ia dilukis oleh seniman yang sepanjang 30-an tahun masuk dalam kategori “musuh negara”.

Berburu Celeng adalah pekik Djoko Pekik bahwa Reformasi menjadi gerbang kebebasan dalam banyak sisi. Seperti sahabatnya Pramoedya Ananta Toer yang mengeluarkan roman Pulau Buru Edisi Pembebasan, Pekik lewat Berburu Celeng memekikkan kemerdekaan politik sekaligus mengakhiri kesengsaraan ekonomi. Sekaligus, celeng yang ia jadikan “figur utama” seperti peringatan abadi bahwa musuh utama bangsanya adalah keserakahan celeng sebagaimana cerita everlasting George Orwell, Animal Farm.

Tapi, celeng bukan datang begitu saja. Ia adalah sikap politik berkesenian Pekik. Ia muncul dari laku panjang dari politik seni kiri masa silam.

Pekik datang dari kota yang jadi perlintasan kota lainnya seperti Solo-Blora-Kudus. Jika dari dan ke Blora, mestilah melewati kota asal Pekik, Grobogan. Dari sisi geografis ini saja, kita jadi tahu mengapa Pram dan Pekik “sangat dekat”. Termasuk kedekatan ideologi berkesenian.

Bedanya, Pram berkesenian di Jakarta, Pekik di Yogya. Pram dengan kata, Pekik terpesona oleh gejolak seni rupa yang dihelat oleh nama-nama besar dalam katalogus seni rupa modern; dari Soedjojono, Affandi, hingga Hendra Gunawan. Ia tahu, nama-nama itu dengan sanggar-sanggarnya yang melegenda berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra.

Sebagai perupa muda yang datang ke Kampus ASRI, Gampingan, Pekik tidak bergabung dengan sanggar-sanggar mapan sebelumnya, melainkan membikin kelompok yang secara ideologis lebih keras. Saat itu, sanggar yang digandrungi adalah Sanggarbambu yang dipimpin Soenarto Pr. Obituari Soenarto pernah saya tulis di Jawa Pos pada 29 Juli 2018.

Amrus Natalsja, Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Ng Sembiring, antara lain, pada awal tahun 60-an, membuat perkumpulan yang mereka namakan Sanggar Bumi Tarung (SBT).

Tanpa tedeng aling-aling, SBT langsung mengidentikkan diri sebagai sanggar yang berada di bawah Lekra dengan ideologi berkesenian yang sama: seni kerakyatan. Kelak, tensi ideologi ini dinaikkan bobotnya menjadi “revolusioner” pada 1964 seiring dengan PKI membuat “lembaga kebudayaan baru” bernama Kongresi Seni Sastra Revolusioner.

Di Kampus ASRI Gampingan, Bumi Tarung membawa misi “membereskan” politik berkesenian realisme yang lembek dalam kampus itu. Karena itu, eksponen sanggar ini kerap dituding brutal, anarkistis, bombas, dan sensasional.

Seperti Lekra yang menjadi induknya, seni bertendens ala Bumi Tarung memakai metode yang ketat dalam berekspresi. Metodenya adalah turun ke bawah atau Turba.

Eksponen Bumi Tarung, Misbach Tamrin, pernah menulis narasi “Trisik” di Harian Rakjat, 2 Agustus 1964, yang merupakan “art project” bagaimana mereka berkesenian.

Dalam Turba ke Pantai Trisik (Wates) di selatan Yogya itulah lahir karya Pekik terkenal, Tuan Tanah Kawin Muda yang sekaligus menjadi judul buku kecil yang disusun Antariksa.

Lukisan dengan sabetan ekspresif dan bertendens ini hasil amatan langsung Pekik terhadap situasi sosial petani yang terisap oleh tujuh setan yang bergentayangan di desa.

Bagi Pekik dan Bumi Tarung, praktik berkesenian tidak sekadar menunjukkan ekspresi politik, tetapi juga memperlihatkan keberpihakan kelas dengan menunjukkan langsung sikap politik. Pekik bukan seniman yang karyanya politis, tetapi laku politiknya “netral”. Ekspresi seni dan laku/amal politik harus sejalan.

Turba ke Trisik tidak sekadar datang untuk melukis, tidak sekadar riset visual, tetapi menunjukkan keterlibatan politik. Karena itu, Pekik dan kawan-kawannya langsung berkolaborasi dengan Barisan Tani Indonesia. Lewat BTI, seniman yang biasanya “mainnya” dalam kota dan kampus, bisa mengetahui realitas apa yang terjadi di perdesaan. Tidak berhenti sekadar tahu, tetapi juga terlibat dalam serangkaian advokasi.

Sastrawan perempuan dari Lekra, Sugiarti Siswadi, misalnya, saat menggambarkan petani Kulonprogo diadili dalam cerpen “Pengadilan Tani”, yang terbayangkan oleh saya justru Turba para seniman Bumi Tarung. Termasuk, lukisan dengan pesan yang tak pernah kalis dalam sejarah: Tuan Tanah Kawin Muda.

Pekik dalam lukisannya seperti memekikkan bahwa petani selamanya menjadi hama bagi para tuan tanah, bagi pemodal yang menguasai berhektar-hektar tanah. Dengan uangnya, mereka bisa melakukan apa saja, termasuk mengambil gadis muda untuk dikawini.

Seni melawan “tuan tanah”, secara simbolik adalah karya yang menjadi salah satu simbol dari apa yang disebut “realisme revolusioner”. Satu level naik dari “realisme sosialis”.

Dengan “realisme revolusioner”, Bumi Tarung menolak jadi bumper, agen, dan tidak mau mengekor secara teoretis ke Moskwa atau Beijing.

Jika “realisme sosialis” hanya pada tahap memahami, merefleksikan, dan menggambarkan kehidupan proletar dengan warna-warna palet yang padat, berat dan mendalam, “realisme revolusioner” adalah berakhir pada tindakan mobilisasi perlawanan setelah tahap memahami dan refleksi dengan karya-karya yang besar, mencolok, dan gigantis.

Sebagaimana politiknya, seperti itu pula nasib dari jalan berkesenian Djoko Pekik. Saat politik yang memayunginya kalah pada 1965, kalah pula ia. Ia ditangkap dan dijebloskan di Penjara Vredeburg pertama kali pada 8 November 1965, dipindahkan ke Wirogunan, dan bebas tujuh tahun kemudian.

Sejak itu, Pekik menjadi paria dalam negara yang pada suatu masa ia impikan sebagai negeri yang pamornya diperhitungkan bangsa sejagat.

Hidupnya pun selama puluhan tahun berada dalam sepetak rumahnya. Di Tamantirto, Bantul, ia membangun sendiri negaranya. Palataran, demikian ia menamai “negaranya”, dibatasi bentang alam dua sungai, Kali Kontheng di barat, Kali Bedhog di timur. Sebuah batas yang tegas. Di antara dua sungai itulah ia dirikan rumah tinggal, studio, dan pepohonan dan bambu. Di sanalah, di “Negara Palataran” itulah ia “beternak” rupa-rupa celeng. Walau rupa-rupa, celeng tetaplah celeng. Babi tetaplah babi di Hutan Pekik.

Celeng adalah wajah lain dari Tuan Tanah di tahun pergolakan berkeseniannya. Usianya yang cukup panjang menunjukkan bahwa politik “celeng” militer bisa membinasakan afiliasi politik revolusionernya, tetapi tak bisa memadamkan ekspresi kreatifnya.

Dari Yogya, Pekik, termasuk Amrus Natalsja, menjadi perwakilan yang tangguh dan menolak menyerah dari sebuah praktik berkesenian yang dipadamkan secara bengis.

Walau jasadnya kini di-Bumi-kan, suara seni Pekik tak pernah surut, sebagaimana diparafrasekan dengan indah oleh Romo Sindhunata, kita sedang menyaksikan Republik Celeng yang berisi manusia-manusia tak pernah berhenti nguntal. Leng-ji leng-beh, celeng siji celeng kabeh. Selamat jalan, Maestro. Itu. ***

Pertama kali dipublikasikan Harian Jawa Pos, 13 April 2023, H. 1–2