Karta Pustaka

Karta Pustaka akhirnya tutup pintu untuk selama-lamanya dari Kota Yogyakarta pada pekan pertama Desember 2014. Setelah beroperasi sejak Maret 1968, hari-hari pelelangan ribuan koleksi buku Karta Pustaka, tak hanya menyedot perhatian publik kota, namun juga mencatatkan bagaimana Yogya menjadi kuburan bagi perpustakaan yang dikelola yayasan.
 
Nasib Karta Pustaka yang memiliki arsiran dengan Kedubes Belanda mestinya sudah diprediksi, saat KITLV di Leiden terguncang oleh isu kebangkrutan pada 2011. KITLV adalah institusi arsip milik Belanda yang menyimpan dokumen-dokumen penting tentang sejarah Indonesia. Begitu pentingnya posisi KITLV sehingga kerap disebut pusat dari segala pusat narasi Indonesia.

Namun semuanya menjadi getir saat instruksi De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW) pada 2011 datang seperti petir pembangkrutan institusi arsip KITLV. Alasan pembangkrutan itu terkait dengan pengetatan anggaran Kantor Kementerian Pendidikan yang dilakukan secara bertahap. Keputusan itu merupakan imbas sapuan badai krisis yang memorak-morandakan Eropa, dan bahkan nyaris menjungkatkan negeri leluhur filsafat, Yunani.
 
Karta Pustaka yang selama ini mengandalkan anggaran dari kerjasama dengan Kedubes Belanda bersiap masuk kubur setelah keputusan diketok: tahun 2015 infus kerjasama itu dicabut. Dan hebohlah Yogyakarta. Sebab publik tahu, walau kecil, Karta Pustaka adalah perpustakaan “komunitas” yang representatif, ruang pertunjukan yang menyenangkan, dan tentu saja kamar belajar tentang bahasa dan budaya Belanda.
 
Tapi kota ini sudah teramat sering menyaksikan bagaimana perpustakaan (di)bubar(kan) dan bahkan dirampok. Mulai dari perampokan arsip keraton oleh serdadu Raffles di peristiwa Perang Sepoi 1812 hingga perampasan gedung perpus AS yang disebabkan ketegangan politik dua negara.
 
Perampasan gedung dan koleksi buku The Jefferson Library kepunyaan Kedubes AS yang terletak di Jl Diponegoro (saat ini di lokasi Pasar Kranggan, Tugu) itu terjadi pada 1964.
 
Jika Karta Pustaka bubar tersebab guncangan ekonomi yang menimpa negara yang menaunginya, maka  Jefferson Library digeruduk politik konfrontasi. Agensi-agensi kultural Amerika dan Inggris oleh politik Sukarno dipandang sebagai nila dan oleh karena itu laik ganyang.
 
Karnaval panjang dan teriakan anti-asing penuh amarah pun digelar organ-organ kiri progresif yang dipimpin Front Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Pawai pemuda-pelajar dari Alun-Alun Utara hingga Tugu dihelat dengan satu tekad, hari itu juga, 14 Agustus 1964, Jefferson Library minggat dari kota.
 
Sebagaimana 4 frame foto yang ditayangkan Minggu Pagi No 22, 30 Agustus 1964, gedung dan koleksi buku Jefferson Library berhasil diambil alih. Naskah pengambilalihan gedung perpus itu disaksikan Danrem 72 Letkol Katamso yang pada 1965 turut jadi korban konflik berdarah antarsatuan AD.
 
Dan terampasnya gedung dan koleksi Jefferson dianggap sebagai langkah-langkah kemenangan politik Sukarno yang memperingatkan kepada Amerika Indonesia tidak main-main soal konfrontasi.
 
Kehancuran Jefferson Library itu semacam tumbal bagi munculnya arus balik yang mengaramkan organ-organ kiri di Indonesia. Persis usai pengganyangan-balik kiri itulah, Karta Pustaka muncul di Yogyakarta saat rezim militer Soeharto memperbaiki dan mempermanis hubungan diplomatik dengan Amerika, Inggris, dan tentu saja Belanda. [gusmuh]