Rumah Kertas – Carlos Maria Dominguez

Bukuku Takdirku. Sejak kalimat pembuk, novel ini menjanjikan
untuk dibaca cepat dan menjadi teman duduk yang asyik.

“Pada musim semi 1998, Bluma Lennon
membeli satu eksemplar buku puisi Emily Dikinson, Poems, di sebuah toko
buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia
ditabrak mobil dan meninggal.” (hlm. 1)

Masalah pun langsung dijeratkan kepada
pembaca, seperti dua ruas belokan: Bu Dosen Bluma meninggal karena ditabrak
mobil atau Bu Dosen Bluma tewas karena buku puisi.
Ini “memoar” menggugah tentang
buku dan pemanggul-pemanggulnya yang setia. Tentang mereka yang takdirnya
tumbuh dan tumpas bersama buku. Tentang cinta dan ketaklukkan pada pesona yang
diuarkan buku. Dan juga soal kutukan buku yang tanpa kabar mengantarkan pembaca
ke sebuah dunia bibliografi dengan ketakjuban yang tak putus-putus.
Carlos Maria Dominguez (CMD) lewat novelet
ini berambisi meletakkan buku sebagai nubuat hidup-mati dan kegilaan yang aneh
ketimbang sekadar dunia niaga dalam pelbagai pasar raya buku. Terutama dalam
sebuah masyarakat yang percaya magis lebih dari apa pun sebagaimana masyarakat
di seantero Amerika Latin dan negeri bekas jajahan lainnya di Asia dan Afrika.

Novelis kelahiran Buenos Aires, Argentina
pada 1955 dan tinggal di Montevideo, Uruguay ini menandaskan bahwa buku adalah
dunia khas, oleh karena itu pengalaman membaca selalu menjadi praktik yang
memukau dalam wabah kelisanan yang menjerat kota di mana gawai dengan
kabel-kabel kecil menjuntai kita temukan di setiap pejalan dalam kota hingga di
kampung-kampung. Kata Carlos Maria, itu fenomena yang ditemukannya di Buenos
Aires, juga di kota-kota negara bekas jajahan lainnya. (hlm. 13)
Dalam pengembaraan mencari tokoh Carlos Brauer
yang diyakini punya hubungan dengan kematian Bluma Lennon di paragraf pertama
di jalanan Cambridge, London, Carlos Dominguez menyindir dengan telangas dunia
buku yang riuh ini. Kata penulis novelet yang aslinya berjudul La casa de papel
ini, begitu banyak novel yg terbit, begitu sedikit yang mempercakapkannya.
Orang-orang sibuk dengan gosip dan percakapan apakah ia menghadiri undangan
peluncuran buku atau tidak, apakah bukunya menyasar kritikus akademis atau
peresensi koran Demikianlah, lalu ada penulis yang tiba-tiba kaya dengan buku
payahnya karena divisi pemasaran yang bekerja seperti pemabuk yang dianugerahi
jam kerja tanpa batas. (hlm 15)
Buku ini memandu kita memasuki dunia fiksi
ciptaan Marquez, Borges, Lope de Vega hingga Quevedo. Buku ini memperkenalkan
kita peta Amerika Latin lewat pesona buku-buku bermutu yang diciptakan para
penulis mereka. Juga peta perniagaan buku tua dan kisah penerbit-penerbit
antiquariat lewat kisah kegilaan seorang bibliofil asal Uruguay bernama Carlos Brauer.
Tak ada satu pun dinding rumahnya melompong
dari buku. Ia pemburu buku-buku cetakan pertama, dan sekaligus memperlakukan
buku dengan sangat hidup. Bahkan, ia menata bukunya menyerupai sosok figuratif
seseorang yang membaca buku. “Kami bahkan tidak tahu apakah judul-judulnya
dipilih dengan sengaja, meskipun teman kami melihat satu buku terbitan Conde de
Siruela; bagian kepalanya, buku-buku Bravarios del Fondo de Cultura Economica;
kakinya beberapa terbitan Losada. (hlm 40)
Bukan sampai di situ saja. Maksud saya,
bukan hanya menyingkap misteri hubungan praktik membaca dengan kebiasaan orang
sambil mendengarkan musik (hlm. 41-42); atau pertemuannya dengan dosen sastra
Amerika Latin Bluma Lennon di Cambridge yang ingin mati ditabrak mobil dengan
buku puisi Emily Dickinson di tangannya, dan si Brauer apa boleh bikin mengulurkan
koleksi Poems-nya untuk dibawa mati si dosen cantik (hlm. 47); Carlos
Dominguez justru menemukan dan mencatat kegilaan paling puncak Brauer yang
membangun rumah dengan berdindingkan buku-buku.
Bermula dari kutipan bahwa buku bisa
melindungimu dari angin dan hujan serta musim dingin yang membekukan nadi. Juga
tentu saja dari apatisme yang akut dengan cara perpustakaan yang dikelola
pemerintah menyelamatkan buku dari vandalisme dan tangan-tangan maling, Brauer
pun memutuskan meninggalkan Kota Montevideo dan menuju pesisir di kawasan
Rocha. Ia bertekad membangun rumah di sana. Rumah buku. Dalam perpindahan itu
ia bawa serta bertruk-truk bukunya sebagai, ya ampun, sebagai bahan baku
bangunannya. Brauer tak sedang membuat perpustakaan atau taman bacaan untuk
masyarakat terpencil, tapi bereksperimen mempertemukan dan mengikat buku-buku dengan
semen.
Mula-mula Brauer menyuruh kuli merangkai
kusen jendela di atas pasir, kusen untuk dua pintu, lalu membangun satu sisi
dinding batu, dan perapian. Dan, si kuli pun dibebaskan memilih buku-buku
sesukanya untuk dijadikan dinding dan lantai dalam adonan semen dan kapur. Buku
sebagai pengganti batu bata, pikir Brauer, cukup artistik. Dan lebih penting
lagi mengakhiri cerita-cerita percekcokan antarpenulis atau kontradiksi antara
Spinoza, botani Amazonia, dan Aeneas-nya Virgilius. Ia pun memupur dalam
adonan semen semua kecerewetan apa pun perihal penjilidan buku yang kuat dan asal-asalan,
apakah ada ilustrasi etsa dan ukiran di dalamnya. Yang penting bagi kuli itu
adalah menyusun buku itu serupa batu untuk dinding. Satu ensiklopedia misalnya
dipasang oleh si kuli di sudut. Sejilid Borges diulurkan Brauer kepada si kuli
untuk dipaskan di bawah kusen jendela, Vallejo untuk pintu, Kafka di atasnya,
dan di sampingnya Kahn dan edisi hardcover Farewell to Arms-nya
Hemingway. Tak usah ditanya di mana Cortazar dan Vargas Llosa yang doyan
menulis tebal-tebal itu. Atau Valle-Inclan dan Aristoteles, Camus dan Morosoli,
Shakespeare dan Marlowe. Semuanya sudah lengket satu dengan lainnya dalam ikatan
semen. Semuanya menemui takdirnya menjadi tembok-tembok di Rumah Kertas, La
casa de papel.
Nah, tahulah kita bahwa buku tak sekadar
soal laba-rugi, adu syahwat proyek buku ajar di sekolah, dan serangkaian pidato
dengan mengutip angka-angka persentasi minat baca yang jeblok. Buku melampaui
kisah fraktal macam itu. Buku, seturut Carlos Maria Dominguez, adalah soal
takdir di mana nasib manusia ditentukan dengan cara yang tak pernah biasa. Juga
takdir mengeras dalam “Rumah Buku”. [Muhidin M. Dahlan]
Judul: Rumah Kertas
Judul Asli: La casa de papel
Penulis: Carlos Maria Dominquez
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri, September 2016
Tebal: 76 hlm
* Dipublikasikan pertama kali di Harian Koran Tempo, 8-9 Oktober 2016 dengan judul “Kisah Para Penggila Buku”.