Meretas Jalan Keempat

::nur zaini mr, ketua lbpm el-nasr yogyakarta

Kapitalisme, sosialisme, dan sosial demokratik cenderung menafikan aspek batin manusia karena digerakkan oleh materialisme. Bisakah sosialisme religius menajdi alternatif?

Ketika badai krisis melanda Asia, termasuk Indonesia sejak pertengahan 1997, menggugah ingatan kita akan kelicikan kapitalisme. Bagaimana pun duka nestapa yang melanda bangsa ini tak lepas dari ekses sistem kapitalisme global.


Sementara itu sosialisme yang menempatkan diri sebagai sistem yang berseberangan dengan kapitalisme tetap saja termangu dalam mimpi utopisnya. Adalah Anthony Giddens yang telah merentangkan “jalan ketiga” sebagai alternatif dari kapitalisme dan sosialisme. Ia memperkenalkan ideologi sosial demokratik. Dalam pandangan Giddens, masyarakat harus kembali pada ajaran sosial demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tanpa melihat terminologi “kanan” dan “kiri” secara ideologi.

Capaian apa pun dari ideologi kapitalisme, sosialisme, dan sosial demokrat ala Giddens, semuanya digerakkan oleh nafas materialisme. Dalam konteks inilah kritik Ali Syari’ati sangat pedas. Menurut Syaria’ati ideologi-ideologi itu menafikan aspek batin manusia. Karena manusia Cuma dianggap sebagai sekrup penggerak mesin industrial materialisme, yang bekerja mekanis tanpa kesadaran. Pada titik ini manusia telah kehilangan eksistensi kemanusiaannya.

Untuk mengentaskan manusia dari kehinaan eksistensial itu, buku Sosialisme Religius ini mencoba meretas jalan keempat, yakni dengan mentransformasikan nilai-nilai sosial agama dalam pentas sejarah manusia. Ini bukan berarti melakukan “ayatisasi” secara formalistik dengan lebih mementingkan bentuk ketimbang isi seperti ditampilkan kalangan agamawan fundamentalis. Bukan pula melakukan pola penyesuaian idiom-idiom agama dengan perubahan sosial dan konstelasi politik yang ada.

Paradigma sosialisme religius dibangun dengan tiga pilar utama. Pertama, gerakan sosial yang memperjuangkan tatanan struktural yang berkeadilan. Menurut Ziaul Haque, dengan memahami ajaran-ajaran sosial agama, agama (Islam) dapat dinyatakan sebagai elan yang snagat revolusioner karena selalu menghendaki transformasi struktural. Agama selalu berusaha merombak struktur-struktur ketakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Pada konteks ini kita memerlukan apa yang disebut Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik.

Kedua, gerakan humanistik yang menyapa sesama manusia atas dasar kemanusiaan, bukan primordialisme yang sempit. Gerakan ini juga merupakan gerakan kritik atas kecenderungan tirani rasionalitas dan fatalisme atas gerakan formalitas rituan. Lebih dari itu, gerakan ini selalu memilih dialog sebagai jalan penyelesaian masalah, bukan penggalangan massa untuk menghancurkan kelompok yang berbeda. Sebab arus terdasar perwujudan masyarakat madani adalah tersedainya mekanisme untuk menyelesaikan konflik lewat universum wacana yang padat argumen dalam relasi kesederajatan.

Ketiga, religiusitas, yaitu spirit agama yang dilandasi oleh semangat pembebasan dan humanistik, yang beribadah kepada Tuhan dengan cinta dan soliter. Kecintaan itu tak hanya termanifestasikan pada Tuhan, tapi yang terpenting, tersebar pada seluruh manusia. Mengutip M Iqbal, “Kesadaran ibadah pecinta tak hanya kehendak Ilahi, tetapi juga secara aktif berusaha memahami, mencerap, dan menyebarkan sifat-sifat (cinta) Tuhan dalam gelombang sejarah.”

Karya yang sangat menarik ini merupakan bunga rampai dari percikan intelektual generasi muda yang brilian, yang oleh editornya, Muhidin M Dahlan, ditata dengan menarik sehingga sistematis dan mudah dipahami.

Buku yang dihiasi dengan gambar bulan bintang dan palu arit ini, pada bagian pembukanya menyajikan paparan M Hatta yang mengeksplorasi kapitalisme, sosialisme, dana gama, yang disertai beberapa prediksi dan catatan kritis.

Bagian pertama mencoba merentangkan varian sosialisme dan konsistensinya,baik secara teoretis maupun faktual dalam pergulatan ideologi dunia. Misalnya, sepertiditulis Bonnie Setiawan, yang dengan cerdas mencoba membongkar bisul-bisul neoliberalisme yang disokong kapitalisme global, dan menawarkan paradigma alternatif dari gerakan kiri secara menawan. Semua gerakan kiri yang ada, apa pun bentuknya, bagi Bonnie merupakan tenaga-tenaga ekstra penyelamat bumi dari penghisapan kapitalisme.

Bagian kedua menyuguhkan paparan teoretis dan historis kemungkinan sosialisme religius menjadi jalan baru dari kebuntuan jalan yang ada, seperti sosialisme dan kapitalisme. Secara teoretis M Rhomzy melakukan eksperimentasi atas sosialisme, kapitalisme, sosial demokrasi, dan agama.

Bagian ketiga menampilkan pikiran-pikiran tokoh sosialisme religius seperti Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Syariati, Muammar Qadhafi. Tokoh-tokoh ini secara genuine mengelaborasi signifikansi dan pertautan positif antara sosialisme dan agama. Hanafi misalnya mendeklarasikan manifesto Kiri Islam yang oleh M Mustafied disajikan dengan cekatan. Senada dengan Hanafi, Asghar Ali menabuh genderang teologi pembebasan yang diulas Islah Gusmian dengan cermat.

Pada bagian akhir, Awalili Rizqi mencoba menata kembali agama dan sosialisme dalam formulasi yang proposrsional. Dengan optimistis Awalil menyatakan bahwaformulasi itu diharapkan bisa dipakai untuk membaca kenyataan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Adanya gagasan sosialisme religius ini memang memberi harapan bagi umat beragama untuk mengapresiasikan ajaran agama dalam pentas sejarah. Tapi gagasan ini juga mengundang nada sumbang dan pesimisme dipihak lain. Sebab agama dipandang terlalu abstrak untuk menyelesaikan problem sosial,ekonomi, politik, dan budaya yang nyata.

Terlepas dari hal itu, gagasan ini dapat turut meramaikan diskursus intelektual yang mengusung terciptanya formulasi ideologis yang baik untuk mengentaskan bangsa dan negara dari jurang kehinaan.

::dimuat di majalah panji masyarakat, 20 september 2000