Batu, Macondo, dan Halimunda

::gus muh

Perempuan, besok pakailah rok bergembok dan sekalian cawat logam bersepuh!!! Fesyen cap “Anti Teror”.

Kabar ini datang dari Malang yang saya baca pertama kali pada 4 April 2008 di Harian Banjarmasin Post. Untuk mengantisipasi maraknya praktik esek-esek di panti pijat di Kota Batu (Malang), Pemkot menerapkan aturan baru. Yakni, para peramu pijat diwajibkan memakai gembok dengan mengunci rok dan celana dalam yang dipakai sehingga para pelanggan tidak mudah membuka celana dalam pemijat. Hal ini dilakukan agar citra Batu sebagai Kota Pariwisata tidak dikotori dengan praktek sebagian panti pijat yang diduga melakukan praktek esek-esek terselubung.

Dari sembilan panti pijat yang ada baru dua panti yang sudah mewajibkan karyawannya memasang gembok di rok mereka sebelum melayani pelanggan. Dua panti itu adalah Panti Pijat Rini Jaya dan Panti Pijat Doghado di Jl Raya Beji Kota Batu.

Aturan itu diikuti pula dengan selarik ancaman: Pemerintah akan menerapkan sanksi kepada para pengelola panti pijat yang membiarkan pemijatnya tidak memakai gembok saat melayani pelanggan.

Mengikuti siklus kronik Indonesia sepanjang abad 20 sampai kini, barangkali inilah aturan paling “magis” yang pernah dipikirkan pemerintah Indonesia untuk menghentikan praktik seks liar dalam masyarakat. Sekeras-kerasnya Partai Komunis Indonesia (PKI) memukul seks dan praktik perbanditan (dalam politik), tak ada yang semagis seperti di Batu ini. Sekeras-kerasnya Front Pembela Islam (FPI) menyisir tempat remang-remang dan maksiat, tak ada yang sefiksi seperti yang diambil pemerintah kota ini.

Fiksi? Magis? Ya, karena setahu saya pikiran menggembok rok perempuan hanya ada dalam fiksi realisme magis pengarang Kolumbia Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude. Novel ganjil ini juga mengantarkannya menerima Nobel Prize (Sastra) pada 1982.

Novel ini berkisah tentang lahirnya sebuah kota bernama Macondo; sebuah desa yang digambarkan Marquez di paragraf pertama bukunya sebagai “desa yang terdiri dari 20 rumah berdinding batubata mentah, dibangun di tepi sungai yang airnya mengalir melewati batu-batu mengkilat, putih, dan besar seperti telur-telur dari zaman prasejarah”.

Seluruh kemusykilan, kegilaan, kekanak-kanakan, fantasi, kebobrokan moral, irasionalitas berbaur jadi satu dalam novel ini. Salah satu fantasi paling ajaib yang diciptakan Marquez adalah adegan celana panjang yang digembok. Ursula—sang Hawa dalam kota ini—mengenakan penemuan brilian ibunya itu karena takut; jika diperkosa suaminya yang jago kelahi itu ia akan mengandung seekor Iguana. Karena itu selama enam bulan perkawinan mereka, si suami, Jose Arcadio Buendia, menyetubuhi istrinya hanya dalam angan-angan.

Adegan itu pula yang diadaptasi Eka Kurniawan dengan sangat seru dalam Cantik Itu Luka. Novel ini juga berkisah tentang lahirnya kota bernama Halimunda. Coba baca paragraf berikut ini.

Setelah Shondancho menarik rok si pengantin Alamanda di malam pertama dan dikiranya seluruh bajunya sudah tanggal, betapa kaget Shondancho memandang selangkang istrinya: “Brengsek, apa yang kau lakukan dengan selangkanganmu?” tanyanya setelah melihat celana dalam yang terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya. Alamanda menjawab tenang, “Pakaian anti teror, Shondancho, kupesan langsung pada seorang pandai besi dan seorang dukun. Hanya bisa dibuka dengan mantra yang hanya aku yang bisa tapi tak akan kubuka untuk meski langit runtuh.”

Shondacho sudah berusaha membuka gembok itu dengan mencoba pelbagai alat, mendongkelnya dengan obeng, dipukul dengan palu dan kapak, bahkan tembakan pistol yang nyaris membuat Alamanda semaput karena takut. Tapi gagal. Akhirnya ia hanya bisa menggauli istrinya antara nafsu birahi dan kemarahan tanpa bisa menyetubuhinya.

Kedua novel itu adalah contoh serius sebuah novel yang menghimpun ulah-ulah gila manusia hidup dan membangun kotanya. Saya tak tahu pasti apakah ide Pemerintah Batu menggembok celana perempuan-perempuan pekerja di panti pijat itu terinspirasi oleh surealisme yang disodorkan dua buku ini. Kesamaan ide dalam penggembokan itu bertumpu pada ketakutan yang berlebihan pada irasionalitas dan bahkan telah terjatuh pada paranoia akut.

Ursula berhalusinasi atas Iguana yang bakal dikandungnya jika Jose Buendia memperkosanya, sementara Alamanda takut akan mengandung iblis bila Shondancho menyetubuhinya. Adapun pemerintah Batu luar biasa takutnya bila citrawi wisatanya akan ternoda oleh iblis jahat bernama seks. Dan yang harus menanggungkan semua itu adalah perempuan. Bila dua novel realisme magis itu perempuan menjadi subjek karena melakukannya dengan sadar, maka dalam kasus Batu ini perempuan yang jadi objek (penderita).

Selain akan membikin murka aktivis perempuan Indonesia dengan kebijakan “realis magis” ini, ide ini juga menarik untuk disimak dalam konteks bagaimana saraf surealisme yang hanya ditemui dalam lembar novel bekerja menjadi hukum positif dalam masyarakat. Sekaligus gagasan surealis itu bakal memberi stimulus bagi lahirnya model baru dalam dunia fesyen dan cara berpakaian. Dan ini untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia.

Apalagi jika aturan “realisme magis” ala Batu (cq Macondo dan Halimunda) ini menarik hati bupati-bupati lain di seluruh Indonesia, maka di seluruh counter atau factory outlet di mall-mall yang khusus menjual pakaian perempuan, akan muncul model pakaian baru perempuan, yakni rok bergembok atau cawat yang terbuat dari besi sepuhan lengkap dengan lubang kuncinya. Warna dan renda boleh berwarna-warni sesuai selera dan tren. Namun, pernahkah para lelaki yang mencipta aturan itu merasakan betapa tersiksanya para perempuan yang berjalan ke mana pun seperti prajurit yang sedang berjalan di medan perang dengan pakaian tempur lengkap atau dalam istilah Alamanda: “pakaian anti teror”.

Tapi inilah realitas dunia (kota) kita hari ini. Semua yang musykil dan hanya ditemui di angan-angan pengarang novel realisme magis akan dengan mudah kita temui dalam pengalaman nyata sehari-hari. Dan angan-angan “realisme magis” itu kini mencengkeram benak para pemangku aturan-aturan daerah seperti Kota Batu. Pada saatnya nanti, jika semua masyarakatnya menerima dengan dada lapang, Batu adalah peletak batu-pertama dari realisasi kota (khayal) Macondo dan/atau Halimunda. Lengkap dengan keganjilan-keganjilannya tentu saja.