Gerakan Perbukuan Kaum Muda

::eri irawan

Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.

Ini tentang semangat itu. Semangat anak-anak muda di dunia perbukuan. Semangat yang nyaris tak pernah redup, meski jalan makin pejal.

Jumat lalu (24/10), aku menghadiri peluncuran trilogi buku soal Lekra. Disusun oleh dua anak muda perkasa, Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Y.

Di tengah gegap-gempita diskursus “capres muda, politisi muda, et cetera”, ada baiknya, kukira, republik ini berpaling pada gerakan perbukuan kaum muda. Singkirkan dulu perdebatan soal capres muda. Politik sudah terlalu pongah. Ia dibangun tanpa ilmu pengetahuan, karena hasrat kuasa mengaliri setiap inci jiwanya. Ia dibangun tanpa etik. Politik bukan lagi perjuangan ideologis. Politik adalah hal yang bengis.

Mungkin, kini tepat kita bicara soal gerakan perbukuan kaum muda. Bukan hanya karena Oktober ini ada momen Sumpah Pemuda, tapi lebih jauh dari itu, republik ini perlu suntikan semangat perbukuan yang lebih “gila”.

Kisah “kegilaan” anak-anak Indonesia Buku (Iboekoe) mungkin bisa dijadikan contoh. Selain itu, juga ada komunitas Forum Lingkar Pena yang melesat kencang, Rumah Dunia-nya Gola Gong, Alpen Prosa, dan beberapa lagi komunitas penulis muda. Meski berderet, kalau kita bicara statistika, jumlah mereka mungkin hanya 5 persen dari total kaum muda republik ini, tempat di mana harapan masa depan keindonesiaan digantungkan.

Kisah anak-anak muda itu dalam bergelut dengan dunia buku sungguh luar biasa. “Ini sebuah dunia yang senyap,” kata Muhidin kepadaku lewat telepon, Juni lalu.

Secuil kisah anak-anak muda di Iboekoe itu sebenarnya sudah pernah kuturunkan di koran tempatku bekerja. Tapi, sejujurnya, aku tak kenal mereka secara pribadi. Hanya pernah beberapa kali saling berkirim SMS. Bahkan, aku baru bertatap muka dengan Muhidin dan Rhoma Aria, dua sumber utama dalam tulisan yang pernah kuturunkan di koran tempatku bekerja, Jumat (24/10) malam lalu, kala peluncuran buku di sebuah ruang senyap tak jauh dari Masjid Istiqlal.

Dan, aku kembali merasa gerakan perbukuan kaum muda mesti terus diluapkan. Republik ini jelas dibangun oleh kaum muda yang gila buku. Sejarah mencatat di banyak buku tentang bagaimana perjalanan intelektual Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, Semaoen, Sjahrir, Natsir, dan sederet nama lainnya. Namun, kini, seperti kita tahu, lebih banyak kaum muda kita yang sibuk bersolek daripada mendaras buku. Lebih banyak yang fasih bicara model baju terbaru daripada bicara kapitalisme, sosialisme, marxisme, et cetera. Lebih banyak yang datang ke pesta daripada klub-klub diskusi buku.

Tapi, sebuah angka memang bukan statistika yang beku. Meski sedikit, gerakan perbukuan kaum muda ini masih lantang meninju langit, menantang apa pun hadangan. Bergelut dengan cerca dan dilema di sebuah koleseum besar; menuju peradaban atau kebiadaban.

Siapa yang tak bergetar membaca kisah soal jatuh-bangunnya FLP? Siapa yang tak angkat topi melihat aksi Gola Gong? Dan, siapa yang tak salut melihat kegilaan dua anak muda penulis Lekra Tak Membakar Buku itu?

Aku tak bicara adanya garis ideologis di antara kelompok-kelompok anak muda. Ideologi benar atau tidak itu nomor kesekian. Yang terpenting, mereka semua menyemai ilmu pengetahuan, membangun peradaban dengan caranya sendiri. Sebuah cara yang kian hilang: menghikmati buku dan dunianya.

Mungkin, salah satu indikasi menonjol makin hilangnya semangat menghikmati buku dan dunianya adalah meriahnya kekerasan untuk menyelesaikan polemik. Contoh mutakhir adalah saling serang kelompok FPI dan AKKBB.

Padahal, perjalanan republik ini dibangun dengan polemik. Tapi, polemik itu dibingkai dengan dunianya, caranya sendiri. Dua kubu yang berpolemik saling beradu argumen, bukan bertukar pukulan. Mereka saling menyerang lewat tulisan, bukan main pentungan. Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.

Sejarah mencatat banyak polemik di negeri ini yang dilalui dengan perdebatan ideologi dan argumentatif di ruang-ruang publik, macam koran, majalah, hingga stensilan. Satu polemik yang membuat republik ini kian kaya adalah ketika lembaran waktunya dilaburi polemik hebat antara kubu Manikebu dan seniman-seniman “kiri”. Mereka saling adu tulisan; urusan benar-salah, saya memihak siapa, itu urusan nomor buncit. Dan tentu, masih banyak lagi polemik hebat yang mengagumkan, menguras pikiran, menyentuh mata-batin manusia. Kudengar, ada sekira 100-an polemik yang pernah ada di republik ini yang coba disusun oleh teman-teman Iboekoe.

Kembali lagi, siapa yang tak bergetar mendengar kisah mereka, kaum muda di dunia perbukuan kontemporer? “Dalam sehari, selama 15-18 jam kami menulis hasil riset. Tiga hari tiga malam kami pernah tiada henti berkutat dengan Harian Rakjat,” cerita Muhidin saat peluncuran bukunya kemarin.

Sebuah semangat yang nekat, nyaris luput dari kewarasan otak manusia. “(Saking minimnya biaya), sampai-sampai editor pun nggak ada. Percetakannya pun sudah lama kami kenal, jadi ngutangnya mudah,” cerita Muhidin soal proses kelahiran bukunya.

Dan Gola Gong berujar mantap, “Rumahku rumah dunia, kubangun dengan kata-kata.” Maka, ia pun merelakan tanah luas di belakang rumahnya sebagai tempat sekolah. Bukan sekolah formal dengan seragam dan harus hormat bendera tiap hari Senin, tapi sekolah kehidupan soal bagaimana pikir diasah dan rasa dipertajam. Hingga, keduanya, pikir dan rasa itu, bisa menyatu menggapai sebuah makna: bahwa hidup itu harus berguna bagi sesama.

Banyak anak muda datang ke Rumah Dunia-nya Gola Gong. Mereka mempelajari teater, menggambar, membaca apa pun, dan tentu saja menulis.

Inilah mungkin kredo baru tentang bagaimana keindonesiaan di masa depan harus dibangun: bahwa buku adalah kunci, lentera yang membawa benderang. Maka, jangan ada lagi buku yang dibakar, buku yang dilarang hanya karena beda pendapat.