Kaum “Bangsawan” Bersulih Jalan

:: gus muh

“Siapa butuh titel Raden Mas,
boleh ambil ini, saya tidak butuh.”

– Soerjopranoto
Pengertian
“bangsawan” di Indonesia menjadi pradoks jika tak dilihat konteksnya
dalam arus pergerakan nasional. Setidaknya ketika kita merujuk pada lema Kamus Besar Bahasa Indonesia
Secara
generik, demikian kamus itu mengartikan, bangsawan adalah sekelompok orang dari
kalangan-dalam kerajaan atau ningrat. Sementara “bangsa” yang menjadi
frase utamanya diartikan sebagai sekelompok manusia yang dipersamakan asal
usulnya (adat, bahasa, sejarah).
Disebut
paradoks karena satu mengandaikan hierarki, sementara satunya egaliter. Yang
satu tertutup, sementara yang lain terbuka. Namun paradoks ini melumer jika
frasa “bangsawan” (pelaku) dimasukkan dalam arus pergerakan nasional.

Nyaris
semua kronik dan cerita besar sejarah menempatkan kalangan bangsawan sebagai
pelopor pergerakan kebangsaan. Mudah dipahami. Sebab oleh aturan pemerintah
Hindia Belanda, justru hanya kalangan ini yang punya akses asupan pendidikan
modern.
Tapi,
bangsawan yang mana yang dimaksudkan? Di sinilah kita bertemu dengan pembelahan
analitik yang dilakukan Abdul Rivai dalam salah satu tulisannya di Bintang
Hindia pada 1903 dan menemukan sentuhan politiknya di Medan Prijaji lima tahun
kemudian.
Rivai
membedakan bangsawan jadi dua: “bangsawan oesoel” dan “bangsawan
fikiran”. Atau “priyayi birokrat” dan “priyayi
profesional”, sebagaimana dipakai Savitri P. Scherer ketika menjelajahi
kiprah priyayi dalam arus pergerakan nasional.
Mudah
membedakan praksis dua bangsawan ini dalam ihwal pendidikan dan pekerjaan.
Bangsawan jenis pertama umumnya sekolah di Sekolah Praja yang purnakerjanya
adalah mesin birokrat kolonial. Sementara bangsawan yang satunya memilih
sekolah dokter, teknik, dan bekerja di lapangan journalisten.
Bangsawan
fikiran inilah bangsawan yang bersulih jalan. Menanggalkan “bangsawan
oesoel”nya untuk berjibaku di medan pergerakan di luar tembok istana.
Pilihan sebagai dokter dan jurnalis adalah pilihan yang membuka jalan
pergerakan nasional. 
Dengan menjadi dokter, tenaga ahli, dan jurnalis bangsawan
fikiran itu bersentuhan langsung pada kaum jelata.
Konteks
“sulih jalan” itu dengan gamblang kita dapatkan dalam Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer di bagian tengah saat Minke a.k.a Tirto Adhi Soerjo
menolak saran bapaknya yang seorang bupati kota B (Bojonegoro) untuk sekolah Praja.
Ia lebih memilih melanjutkan ke Stovia dan bukan bersiap-siap menjadi Bupati.
Stovia
(School tot Opleiding van Indische Artsen)
di Weltervreden (sekarang menjadi Gedung kebangkitan Nasional, Jakarta) adalah
pusat gravitasi pergerakan yang dikelola “bangsawan fikiran” saat
Indonesia masih dalam pembayangan. 
Boedi Oetomo tiga bulan pertama nyaris
dikuasai oleh “bangsawan fikiran” dengan tekad Java Vooruit (Jawa Maju) dan Santosa
Anggajoeh Oetama
(Upaya mencapai kesempurnaan dengan teguh dan waspada). (Lihat
Pembrita Betawi, 27 Juli 1908)
Tapi,
dalam Kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta, 11 Oktober 1909, Boedi Oetomo yang
progresif dibajak angkatan tua dan “bangsawan oesoel” semacam
Radjiman Wedyodiningrat dan Bupati Karanganyar. 
Koran-koran semasa seperti Darmo Kondo dan Medan Prijaji merekam dengan detil perdebatan seru antara Tjipto
Mangoenkoesoemo dengan Radjiman. Tjipto mengusulkan supaya Boedi Oetomo
memperluas keanggotaannya, yakni membuka pintunya bagi “Indiers”, semua anak
Hindia yang lahir, hidup, mati, dan dikubur di tanah Hindia.
Tirto
Adhi Soerjo yang turut hadir dalam konferensi itu setahun sebelumnya merumuskan
secara radikal bangsa jenis macam apa yang “bangsawan fikiran” ini
cita-citakan, seperti tersari dalam slogan Medan
Prijaji
: “Soeara bagi sekalian
Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan
officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja
jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda.”
Bukan
saja sikap politik, umumnya “bangsawan fikiran” itu bersikap “emoh” sejak dari
nama. Menanggalkan nama “bangsawan oesoel” seperti “Raden Mas” biasa dilakukan
priyayi profesional itu. Sebut saja Raden Mas Djokomono yang bersulih nama
menjadi Tirto Adhi Soerjo yang kemudian nama itu menjadi sang pemula di
lapangan pergerakan.
Salah
satu drama yang paling menarik dilakukan Ki Hadjar Dewantara. Pada 23 Februari
1928, ia resmi menanggalkan nama kecilnya, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat,
menjadi Ki Hadjar. Muasalnya dari sebuah kelompok studi “Selasa Kliwonan” yang
dipimpin Ki Ageng Suryomentaraman, adik Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Suatu
kali, demikian diceritakan Bambang Dewantara, R.M. Soetatmo Soeryokoesoema (Volksraad) di diskusi “selasa Kliwonan”
secara spontan memanggil Soewardi dengan Ki Ajar lantaran penguasaannya atas
wacana perguruan, pengajaran dan pendidikan. 
Nama itu kemudian menunjukkan di
mana Soewardi kemudian dikenang; terlepas dari radikalisme yang dinisbatkan
kepada Soewardi semasa masih memakai nama “Raden Mas” di tahun belasan.
Jauh
sebelumnya, kakak Ki Hadjar, Soerjopranoto, sudah memperlihatkan rasa “emoh”
kepada nama “Raden Mas” yang dinisbatkan kepada mereka. Dua orang ini adalah
putera Paku Alam III. 
Di lapangan pergerakan, jika Ki Hadjar konsens dengan
perguruan dan pengajaran, Soerjopranoto berkecimpung di dunia perburuhan.
Bahkan ia disebut-sebut sebagai “Raja Boycott” lantaran memimpin serikat buruh
bernama Personeel Fabrieks Bond (PFB) dengan 190 cabang dan 31 ribu orang
anggota.
Nah,
dalam sebuah kerapatan besar PFB, Soerjopranoto mengacung-acungkan papan nama
bertuliskan “R.M.” dan berseru-seru, “Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil
ini, saya tidak butuh.”
Kartini
juga membuang gelar “bangsawan oesoel”nya, “R.A” yang memanjakannya dalam
kadipaten yang dipimpin ayahnya R.M. Adipati Ario Sosroningrat. Tanpa “R.A.”,
Kartini berkata: “Panggil aku Kartini saja”. Sikap itu adalah proklamasi diri
dengan mengajukan keinginan bahwa “orang Jawa bocah gede” itu tak boleh
terus-terusan menjadi feodal tanpa kewajiban bekerja. 
“Adeldom verplicht,” seru
Kartini. Bangsawan yang dikenai kewajiban. Tanpa “R.A.” itu, Kartini kemudian
berkenalan dengan karya Multatuli yang memperkenalkan kata-kata menggoncangkan
seperti: “Orang Jawa dianiaya. Aku akan menyetopnya. Dan: tugas manusia adalah
menjadi manusia.”
Membuang
gelar “bangsawan oesoel” dan bersulih ke “bangsawan fikiran” bisa kita baca
sebagai ikhtiar mereka untuk memeriksa sejarah mereka, sejarah asali dari mana
mereka berada. 
Seperti ironi yang dipertunjukkan oleh Ki Ageng Suryomentaram,
adik HB VII, yang menolak kebangsawanannya dengan sehari-hari memakai celana
petani, tak berbaju, tapi berselimpang kain yang biasa dipakai seorang raja.

Oleh Antonio Gramsci, apa yang
dilakukan Kartini, Tirto, Tjipto, Soerjopranoto, Ki Hadjar, maupun
Suerjomentaraman, disebut berada di level ketiga gerakan, yakni momen historical block (blok sejarah). Di
momen itu, segenap-genap kepentingan ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan
kolektif di atas kepentingan partikular sempit.