Jika foto adalah bukti autentik sebuah kehadiran (present) dalam sebuah peristiwa sejarah yang penting, maka foto adalah sebuah kekuatan legitimasi. Hanya dengan bukti selembar foto, keraguan tentang kehadiran bisa ditepis. Foto, walau hanya selembar dua lembar, adalah argumentasi yang mematikan ketimbang serangkaian penjelasan panjang yang berbelit-belit.
Dalam konteks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, misalnya, kata-kata pengakuan dan kesaksian menjadi samudera pasir yang berlimpah-limpah. Memoir, biografi, autobiografi, diktat, traktat, transkripsi rapat, kronik, penyelidikan ilmiah, prosa, naskah skenario adalah sejumlah bentuk gunungan kata-kata yang dibinding dan menjadi narasi Revolusi Kemerdekaan. Semua-muanya bertujuan satu: legitimasi kehadiran.
Namun tidak halnya dengan foto. Dalam peristiwa penting dan tonggak kemerdekaan seperti Proklamasi itu, Indonesia hanya mewarisi dua lembar foto. Satu foto saat Sukarno sedang membaca teks dengan posisi berdiri lebih maju ketimbang Hatta di sisi kiri dan Latief Hendraningrat di sisi kanan serta 20 orang lainnya dengan sosoknya tampak blur. Foto yang satunya lagi adalah close up saat bendera merah putih siap dikerek di tiang bambu.
Dua foto itu menjadi narasi besar tersendiri; dan sekaligus menciptakan rangkaian penjelasan tiada putusnya. Dalam proses pembuatannya saja, misalnya, terselubung heroisme yang tak terkira.
Namun bukan hanya cerita bahwa Alexius Impurung Mendur diinterogasi tentara Nippon dan menghancurkan kamera beserta isi filmnya, melainkan juga menandai jurnalis foto dalam gelombang sejarah dengan hadirnya organisasi foto jurnalistik pertama dan utama setahun setelah kemerdekaan, Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).
Jika jurnalis tulis menulis peristiwa, maka jurnalis foto mengabadikan peristiwa dengan visual yang merangkum semua suasana. Dari dua foto Proklamasi yang kita punyai saat ini yang merupakan warisan penting Frans Sumatro Mendur–adik Alex– yang luput dari penggeledahan Jepang, suasana dingin dan hening di Pegangsaan itu kita bisa rasakan.
Sukarno yang terdorong sedikit maju berhadapan dengan mikrophon tampak seperti singa podium yang kehilangan daya pukaunya. Barangkali ia dilamun waswas atas penjagaan rapat tentara dai Nippon yang ditambah dengan kondisi tubuhnya yang kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Rengasdengklok mengikuti skenario revolusi koboi-koboian ala Sukarni cs.
Foto itu juga bermakna kehadiran. Frame bidikan Mendur menunjukkan siapa yang primer dan sekunder dalam peristiwa di pukul 10 pagi itu. Di foto pembacaan teks Proklamasi itu, tentu saja Sukarno, Hatta, dan Latief lebih menonjol ketimbang 20 sosok di belakangnya.
Demikian foto pengerekan bendera Sang Saka. Di antara sepuluh orang yang berada dalam frame, termasuk Sukarno dan Hatta, sosok perempuan yang berselendang membelakangi kamera menjadi narasi yang unik. Dialah Fatmawati, sosok ibu muda 22 tahun yang keesokan harinya menjadi ibu negara dan sekaligus penjahit bendera Republik Indonesia yang sedang dikerek itu.
Alhasil, foto Mendur, selain berbicara kehadiran, juga merangkum keintiman yang simbolik tentang lahirnya sebuah negara lewat narasi bendera.
Foto dan (de)legitimasi
Penulis biografi Tan Malaka par excellence Harry Poeze sadar betul apa arti kehadiran dalam peristiwa di seputaran Proklamasi. Peristiwa itu, selain penting dan utama sebagai tapal lahirnya sebuah negara, juga menjadi tonggak pembatas masa lalu dan masa depan. Kehadiran sang tokoh besar seperti Tan Malaka dalam peristiwa yang juga besar adalah pelengkap bahwa Tan si pencetus gagasan “merdeka 100%” itu turut hadir di jantung peristiwa.
Maka cara yang dilakukan Harry Poeze untuk meyakinkan ihwal kehadiran Tan Malaka adalah mengumpulkan stok foto yang menggambarkan suasana Proklamasi dan peristiwa-peristiwa yang mengitarinya. Termasuk rapat umum pertama di Lapangan Ikada sebulan setelah Proklamasi dibacakan Sukarno.
Setelah mengidentifikasi ciri-ciri Tan Malaka seperti tinggi badan, topi, baju, celana, dan raut wajah, Harry Poeze berkesimpulan bahwa Tan hadir di rapat umum penting itu. Ia membidik satu sosok dalam kerumunan yang sedang bergerak yang cocok dengan identifikasi yang dibuatnya soal Tan Malaka.
Namun bukan soal Poeze berhasil menandai dengan penuh keyakinan satu sosok dalam bidik-jauh foto kerumunan itu, tapi usahanya itu memberitahu apa arti legitimasi kehadiran dalam peristiwa. Lewat perantaraan foto, Poeze hendak mengatakan bahwa Tan Malaka bersama-sama pemimpin besar lainnya berada dalam satu frame dengan peristiwa besar. Tokoh besar itu tak benar bahwa ia terpencil dari ekosistem politik yang diimpi-impikannya sekian puluh tahun.
Namun foto tak selamanya menjadi legitimasi dan kehadiran yang diharapkan oleh tokoh-tokoh besar politik. Dalam peristiwa kejahatan besar dan tindakan aib, selembar foto justru menjadi malapetaka.
Contoh peristiwa politik yang belum terlalu jauh untuk soal ini adalah rentetan kronik kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan yang justru diawali dengan beredarnya selembar “foto” saat Gus Dur memangku Aryanti Boru Sitepu. Terlepas dari otentisitasnya, selembar foto itu menjadi salah satu penggiring moral bagi delegitimasi kekuasaan Gus Dur setelah diekspos(ploitasi) habis-habisan majalah mingguan Panji Masyarakat.
Demikianlah foto selalu menampilkan dua sisinya yang saling bertolak belakang dalam postur politik. Di satu sisi bisa menjadi legitimasi kehadiran pada peristiwa penting, namun di sisi lain ia seperti lembaran kertas litmus yang menguarkan racun mematikan. Foto pada akhirnya selalu berada pada dua kodratnya yang abadi sebagaimana kata melekat dalam dirinya: film positif dan negatif. [gusmuh]
* Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos, Minggu, 24 Agustus 2014