Hatta, Bukittinggi, Buku

Perpustakaan Proklamator Bung Hatta – Bukittinggi

SAYA memasuki pelataran Perpustakaan Proklamator Bung Hatta pada
pekan ketiga bulan November 2014 ketika warga kota Bukittinggi sedang
menata aktivitasnya. Terletak di Gulai Banca, sebuah kawasan asri
perbukitan dan satu kompleks dengan bangunan Balaikota, perpustakaan
Sang Proklamator ini berdiri megah dan mewah. Semacam monumen bagaimana
buku dan Hatta adalah satu kesatuan narasi yang tak terpisah. 

Dari
tarikh yang terpatri di sebuah pigura yang dipajang di hall perpus yang
berada di sisi kiri balaikota ini memberitahu bahwa saya terlambat
datang sewindu untuk melihat bagaimana buku-buku Hatta mendapatkan rumah
kembalinya yang pantas. Dengan kembalinya ikon Hatta ke Bukittinggi
sekaligus menegaskan kota yang disebut Parisj van Andalas di Sumatera Barat ini menjadi kota bagi lahirnya sang pencinta buku garis-keras.

Memandang dari Bukit Gulai Banca Bukittinggi – Perpus Bung Hatta
Gunung Singgalang dari Bukit Gulai Banca Bukittinggi – Perpus Bung Hatta

Jamak
kita tahu, Bukittinggi adalah kawasan pertahanan dan sekaligus simbol
dari kedaruratan. Jika Belanda menjuluki Bukittinggi sebagai Fort de
Kock di masa Perang Paderi dan Jepang di bawah Mayjend Hirano Toyoji
pada masa Perang Pasifik menjadikannya pusat kendali militer untuk
kawasan Sumatera, Singapura, dan Thailand, maka kini Bukittinggi adalah
oase pengembaraan intelektual Hatta bersama buku-buku.
 
Perpustakaan
Hatta — terletak di perbukitan di mana kita bisa menyaksikan keindahan
kota Bukittinggi yang mirip downtown — adalah pertahanan terakhir dari
kedaruratan buku-buku Hatta yang bertahun-tahun tak jelas
pengelolaannya di Jakarta maupun di Yogyakarta.
 
Mulanya
pemerintah kota Bukittinggi menguluk salam untuk memakai nama Hatta
sebagai nama perpustakaan pada tahun 70-an. Namun itulah penantian
panjang dan melelahkan. Di rentang waktu itu, bangsa ini membiarkan
koleksi Hatta yang semasa hidupnya dijaganya sendiri dengan semangat
asketis mirip seorang pertapa menjadi sebatangkara.
 
Di
Yogyakarta, misalnya, Perpustakaan Yayasan Hatta meregang nyawa.
Buku-buku koleksi Hatta dari pelbagai bahasa seperti Belanda, Perancis,
Jerman diambil-alih UGM pada 2007. Namun, buku-buku itu menjadi
anarkonisme di sudut perpus utama kampus Bulaksumur itu: berdebu nyaris
tak terjamah tangan-tangan manusia.
 
Seperti perjalanan
sejarah Indonesia yang tertatih-tatih, begitulah nasib perjalanan
buku-buku Hatta. Hatta dan perjalanannya bersama buku tak ubahnya
seperti tokoh komik Ganes TH, Badra Si Buta dari Goa Hantu yang menyeret
peti mati kekasihnya ke mana pun ia pergi.
 
Peti-peti buku
yang dibeli dengan susah payah di Belanda semasa kuliah mesti
diseret-seret Hatta dari satu pembuangan ke pembuangan lainnya. Kisah
pembuangan Hatta adalah kisah tentang ketertatihan membawa hartanya yang
paling berharga dari apa pun: buku.
 
Butuh tiga dekade dan
melewati empat pergantian presiden saat Perpustakaan Hatta di bawah
kendali Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Bukittinggi mendapat perhatian
yang penuh. Apalagi, pada awal 2013 wajah Perpustakaan Proklamator Bung
Hatta bersulih rupa lebih manusiawi dan menyegarkan ketika resmi
dikelola langsung Perpustakaan Nasional saat negara mencanangkan membuat
UPT perpustakaan proklamator di Blitar (Sukarno) dan Bukittinggi
(Hatta).
 
Namun sangat disayangkan, koleksi-koleksi buku Hatta
belum kembali ke Bukittinggi. Dari ratusan rak yang tersedia di dua
lantai koleksi, buku yang ditulis Hatta dan atau yang dituliskan orang
lain tentang Hatta hanya terdapat di satu rak. Atau dalam katalog hanya
tidak lebih 100-an judul. Itu pun banyak dalam bentuk photo copy.
 
Artinya,
koleksi puluhan ribuan buku yang dikumpul-koleksi Hatta semasa hidupnya
masih ngontrak di perpustakaan UGM maupun di rumah keluarga di Jakarta.
Padahal sudah khittahnya bahwa merawat koleksi buku-buku founding
father yang bernilai sejarah tinggi itu tak boleh lagi menjadi tugas
keluarga atau yayasan.
Ya, tugas itu sudah benar diambil-alih oleh
negara via Perpustakaan Nasional karena perjalanan buku-buku Hatta
adalah perjalanan sejarah Indonesia membangun batu-bata konsepsinya
tentang kebebasan, kesejahteraan, dan amanah mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaimana tertulis dalam paragraf preambule konstitusi dasar
kita.
 
Tugas negara via Perpustakaan Nasional terdekat tentu
saja secara berkesinambungan meminta agar koleksi Hatta yang masih
tercecer di beberapa kota disatukan dalam kota lahirnya yang nyaman di
Bukittinggi sebagai pusat studi pemikiran Hatta di Indonesia di masa
datang.
 
Dengan begitu Bukittinggi bukan saja menabalkan diri
sebagai kota yang pernah menjadi ibukota Republik di masa darurat, namun
juga kota intelektual yang asri di mana Perpustakaan Proklamator Hatta
menjadi ikon pencerahan baru terhadap buku. Sebab dari Hatta kita paling
tidak belajar tiga hal dasar udnia literer: semangat yang kuat dan
keras menjelajahi dunia pemikiran lewat jalan membaca, kegigihan menulis
dan berpolemik lewat kultur pers dan pergerakan, dan kultur
pendokumentasian dan merawat buku yang dilakukan dengan disiplin yang
nyaris tanpa cela. [gusmuh]

Presiden SBY Meresmikan Perpus Bung Hatta Bukittinggi
Ruang Koran/Majalah Perpus Bung Hatta Bukittinggi
Photocopy Buku Hatta di Perpus Bung Hatta Bukittinggi
Seri Biografi Hatta di Perpus Bung Hatta Bukittinggi
Rak Buku Hatta (bukan buku-buku koleksi Hatta)
di Perpus Bung Hatta Bukittinggi