Jokowi dan Kebudayaan Kelontong

Pos Dirjen Kebudayaan masih kosong di Senayan. Negara masih menunggu seorang yang memiliki kapabilitas untuk menghela seperti apa cetak biru kebudayaan kita melangkah; setidaknya lima tahun ke depan. Dirjen kebudayaan ini sekaligus menjadi cerminan postur (infrastruktur) kebudayaan macam apa yang bakal ditampilkan Presiden Terhormat Jokowi.

Begini. Sebelum sampai ke titik ini, saya mengingatkan lagi ribut-ribut soal “kebudayaan” beberapa bulan silam. Kira-kira begini kata seorang menteri ketika mengomentari soal kebudayaan: (1) tak ada sumbangan kebudayaan itu pada kehidupan negara dan bangsa; dan karena itu (2) kebudayaan hanya memboroskan anggaran.

Mendengar pernyataan macam begitu, mereka yang hidup-mati di jalan kebudayaan tentu saja sewot bukan kepalang. Sewot itu melahirkan petisi di dunia daring. Dua kalimat pemicu melahirkan gema sumbang yang jauh.

Budayawan berhak sewot ketika profesi dan medan kerja mulia mereka dikuantifikasi tidak semestinya. Tapi budayawan lupa, kalimat majemuk yang bikin sewot itu barangkali hanya pemadatan dari visi kebudayaan pemangku kebijakan dalam referat kerja mereka, yakni kebudayaan kelontong. 

Istilah “kebudayaan kelontong” ini saya sitir dari esais Mahbub Djunaedi yang ia lontarkan pada 1977. Kelontong merujuk pada warung yang menjual apa saja, walau dalam kuantitas yang sedikit. Prinsip kelontong adalah ngecer.

Berpikir secara kelontong adalah berpikir yang ekonomis dan pragmatik. Makanya secara struktural kebudayaan beberapa kali coba disaturumahkan dengan pariwisata untuk melayani turisme. Saat ini pariwisata memang “ditendang” keluar untuk mengonsolidasikan pemasaran secara maksimum atas hasil “cipta, rasa, dan karsa”.

Kerangka berpikir kelontong jelas, yang tak membawa nilai ekonomi kini dan di sini pasti diabaikan. Dalam kebudayaan kelontong, siapa saja ilmuwan yang melakukan riset dasar untuk pondasi ilmu terapan pasti terbuang dan kelayaban di negeri orang. Siapa saja seniman yang membuat karya-karya monumental untuk menunjukkan kebesaran dan kemegahan pastilah tersudut dan gigit jari.

Dan itulah yang dialami, misalnya, pematung I Nyoman Nuarta yang proyek seni monumentalnya Garuda Wisnu Kencana mangkrak. Nuarta sudah benar mengutuk dirinya sendiri mengapa karyanya tak bisa berdiri tegak saat pergantian presiden sudah berlangsung enam kali. Karena ia berkebudayaan di salah zaman. Di zaman kebudayaan kelontong, kreativitas tunduk pada bajet. 

Rezim budaya kelontong tak mau tahu bahwa produk kebudayaan itu diciptakan; bahwa semua kerajinan (tradisional) dan karya-karya monumental yang kita warisi saat ini adalah kreasi seniman abad 10.

Ketimbang mencipta dan merangsang sejarah besar kebudayaan hari ini untuk dikenang 100 tahun ke depan, kultur kelontong lebih tertarik pada kolakium. Seminar pun digeber untuk mengejar jumlah, ketimbang urgensi. Kongres yang menghabiskan milyaran dana diselenggarakan hanya untuk terlihat oleh publik bahwa kebudayaan diurus secara baik dan periodik. Dan hasilnya: beberapa lembar kertas presentasi, poin-poin maklumat bersama, serta absensi untuk pertanggungjawaban kalau-kalau BPK membutuhkannya.

Karena itu saya kira, sosok yang dibutuhkan menjadi dir(i)jen kebudayaan tak usah muluk-muluk dicari dari seorang pemikir kebudayaan atau sudah berlarat-larat menghidupi kebudayaan. Cukup sosok yang terampil dalam hitung-hitungan ekonomi, sedikit punya kepekaan pada budaya dalam pengertiannya yang teknis. Yang jago berpikir kebudayaan cukup difasilitasi dengan beberapa seminar dan kongres. Dengarkan saja dengan sabar kegaduhan mereka. Jika hasil traktatnya ngambang, penuh busa, dan tak punya postur tepat-guna, tumpuk saja di lemari arsip. Bikin lagi seminar dan kongres baru. Begitu seterusnya.

* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Koran Tempo, 13 Juli 2015