Politik (Musik) Rhoma Irama

Sama sekali tak mengagetkan ketika Rhoma Irama memutuskan mendirikan partai sendiri (Idaman) pada Juli 2015 setelah sekian tahun terkesan sebagai petualang dari satu partai ke partai lain; dari PPP ke Golkar, dan terakhir (terjegal) di PKB pada pemilu 2014. 

Rhoma Irama memang lebih dikenal dengan musisi. Ia adalah sang immortal; sang raja yang menjadikan dangdut menjadi genre musik terhormat. Untuk soal musik ini, majalah musik terkemuka Rolling Stone menobatkan Rhoma Irama dua kali. 

Pada 2008, Rhoma terpilih menjadi satu dari 25 musisi paling berpengaruh sepanjang sejarah musik Indonesia (Rolling Stone, No 43). Lalu 2010, Rhoma Irama kembali masuk dalam daftar sepuluh besar “The 50 Greatest Indonesia Singers” yang disusun secara cermat Rolling Stone. Dalam testimoninya di edisi khusus itu Ahmad Dhani menyatakan bahwa “Rhoma Irama bukan cuma seorang konsepsi musik dangdut, tetapi ia adalah konseptor bagi dirinya sendiri”.

Misalnya, musik dangdut Rhoma Irama adalah pribumisasi dari musik rock yang dibawa Deep Purple dan LedZeppelin yang populer di tahun 70-an. Rhoma Irama juga yang membuat dangdut tidak minder dengan musik rock saat ia sepanggung dengan God Bless tahun 1977 di Istora Senayan. 

Rhoma adalah rocker? Ya, paling tidak majalah Entertainment yang terbit di USA pada 1992 menyebutnya “The Indonesian Rocker”.

Namun, Rhoma Irama menghidupkan musik bukan demi musik itu sendiri. Pergulatan Rhoma dengan musik dangdut memiliki implikasi politik. Bukan hanya notasi dan lirik musiknya, tapi juga sikap politiknya. 

Dengarkanlah lagu “Indonesia” di albumnya yang ke-11 Indonesia (1980). Ketika Orde Baru melakukan konsolidasi keamanan nasional untuk “menjaga” pertumbuhan pembangunan, Rhoma dengan berani menyisipkan kritik tajam atas ketimpangan kelas sosial: “Seluruh harta kekayaan negara hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya. Namun hatiku selalu bertanya-tanya, mengapa kehidupan tidak merata;  yang kaya yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. 

Di lagu “Indonesia” itu pula, Rhoma Irama untuk pertama kali memasukkan korupsi sebagai penghambat pembangunan: “Selama korupsi semakin menjadi-jadi, jangan diharapkan adanya pemerataan (pembangunan). Hapuskan korupsi di segala birokrasi!”.

Dua tahun sebelum “Indonesia”, Rhoma sudah menyentil tentang kebebasan dan demokrasi di album ke-8 berjudul Hak Azasi. Jauh sebelum HAM menjadi lingua franca hukum dan demokrasi, Rhoma Irama sudah memomulerkannya: “Terapkan demokrasi Pancasila sebagai landasan negara kita. Janganlah suka memperkosa kebebasan warga negara karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan. Kebebasan beragama itu hak asasi. Kebebasan berbicara itu hak asasi. Kebebasan berusaha itu hak asasi. Kebebasan berkarya itu hak asasi”. 

Album itu muncul saat politik (tertutup) Indonesia baru saja dihelat. Sementara afiliasi politik Rhoma Irama tak searus dengan pemerintah yang mengendarai Golkar. Tak heran kemudian Rhoma dicekal tampil di TVRI, lagunya disingkirkan dari list putar di RRI, peredaran kasetnya dihambat, dan izin konsernya dipersulit.

Puncak dari kontroversi musik Rhoma Irama adalah tatkala mendapatkan fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1984. Rhoma dilarang memasukkan ayat-ayat kitab suci dalam musiknya. Sejak itu, Rhoma dan soneta vakum membuat album selama lima tahun setelah meluncurkan album ke-13 berjudul Emansipasi Wanita (1983). Saya melihat pelarangan itu terkait dengan konsolidasi ideologis Orde Baru di mana asas tunggal dipaksakan untuk seluruh ormas, termasuk ormas Islam.

Berhenti sampai di situ saja? Tidak! Saat kembali meluncurkan album baru setelah vakum, Rhoma Irama ternyata tak melunak kritiknya dalam lirik. Album ke-15 Gali Lobang Tutup Lobang yang dirilis 1989 itu mengkritik utang luar negeri. Kritik itu bersayap; bisa mengkritik kehidupan keluarga yang dililit hutang, bisa pula kritik terhadap pemerintah yang membangun di atas gunungan hutang setelah krisis perbankan akut yang terjadi setahun sebelum album ini diluncurkan ke publik. Membayar hutang yang tak pernah terlihat ujung pangkalnya itu dimetaforakan Rhoma dengan cerdas sebagai “Gali/Tutup Lobang”: “menggali buat menutup. Sana rata sini lobang. Gali lobang tutup lobang tetap saja ada lobang. Tak pernah hilang. Gali lobang tutup lobang, pinjam uang bayar hutang”.

Yang perlu diingat adalah setiap lagu kritik terhadap pemerintah yang dibuat Rhoma Irama dengan Soneta memiliki gaung luas; bukan hanya di radio-radio, di televisi, tapi juga di panggung-panggung terbuka saat konser. Maka ikhtiar menggaet Rhoma Irama masuk dalam selimut politik adalah sebuah kemewahan. 

Dan Golkar yang sejak lama demen melihat potensi dan keluasan pengaruh si Satria Bergitar baru bisa menundukkannya pada tahun 90-an. Golkar mengantarkan Rhoma masuk ke Senayan sebagai Utusan Golongan.

Dari sederetan jejak politik dalam musik itu, Rhoma bukan sosok ujug-ujug. Kontroversi kehidupan pribadinya memang banyak merontokkan simpati publik atas personanya. Namun “cerita kelambu” yang jadi fast food industri (gosip) hiburan kita tidak otomatis melumerkan jejak kritis politik musik Rhoma. Ketika sebagian besar musisi masih gagap bicara politik dan terang-terangan mengkritik pemerintah lewat lirik dan notasi, Rhoma di akhir dekade 70-an dan awal 80-an telah berdiri di front bersama penyanyi “immortal” lainnya seperti Iwan Fals.

Walau sangat terlambat, Partai Idaman yang didirikan Rhoma Irama di tahun 2015 semacam sikap (senjakala) bahwa musik Rhoma tak melulu joget, tapi juga memiliki gema (dakwah) politik. Apakah nasib politiknya sama dengan KH Zainuddin “Dai Sejuta Umat” MZ yang tak kinclong? Mungkin.

Rolling Stone (No 43, Nov 2008)

* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 23 Juli 2015