Apresiasi: Andri Cahyadi ~ “Ada peserta yang menyatakan tidak suka”

TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR! Komunitas Gubuk Indonesia  (KGI) menyelenggarakan acara Obrolan Sembilanan pada hari Rabu, 9 Maret 2011. Acara yang mengupas novel bertajuk  Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur  itu berlangsung pada pukul 20.30-23:00 WIB.  Bertempat di garasi KGI, Suyowijayan, Yogyakarta, acara tersebut menghadirkan Muhidin M. Dahlan selaku pengarang novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur sebagai pembicara.Ahmad Sahidi adalah moderatornya.

Acara diskusi novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur merupakan satu dari rangkaian acara yang diadakan sebulan sekali setiap tanggal 9 oleh KGI. Muhidin diundang ke acara KGI tersebut karena kehadiran Muhidin merupakan permintaan forum selama dua bulan berturut-turut. Acara diskusi malam itu bertujuan memberi tahu peserta mengenai cara menggali data-data dalam penulisan dan mendekatkan peserta dengan Muhidin.

Ketimbang membahas isi novel, secara umum, acara Obrolan Sembilanan malam itu lebih banyak membahas pengalaman Muhidin sehubungan dengan novelnya. Diskusinya kurang lebih mengupas latar belakang Muhidin dalam menulis novelnya, juga proses penerbitan, penjualan, dan konflik-konflik yang muncul setelah novelnya diterbitkan.

Acara diskusi diawali dengan pembacaan puisi berjudul Sereneda Violet karya W.S. Rendra oleh Sardi. Setelah itu, diskusi langsung dimulai. Muhidin selaku pembicara memulai presentasinya dengan penjelasan akan latar belakang novel yang dia tulis.

Pada mulanya Muhidin tidak bermaksud menulis novel. Sebab dari tertulisnya novel, diakui Muhidin, adalah ‘kecelakaan’. “Novel ini memang ditujukan untuk aktivis Islam, bukan untuk sastrawan,” ucapnya. Oleh sebab itulah, Muhidin menyatakan apologi sehubungan dengan novel yang dia tulis. Menurutnya, dari segi sastra, novel yang dia tulis masih banyak kekurangannya.  “Jadi kalau dikritik habis-habisan dari segi sastra, itu wajar,” ucap Muhidin.

Muhidin menyatakan ide novelnya berawal dari pemikiran temannya tentang sebuah cerita cinta yang ‘gelap’. Teman Muhidin beranggapan, cerita cinta ‘putih’ sudah terlalu sering diangkat. Muhidin tak menjelaskan lebih lanjut apa yang dia maksud sebagai cerita cinta ‘gelap’ dan cerita cinta ‘putih’ itu.

Tak hanya mengandalkan ide, sebelum menulis pun Muhidin melakukan survei ke beberapa toko buku. Dia juga melakukan wawancara dengan banyak narasumber selama satu minggu. Muhidin mengatakan, wawancaranya itu menghabiskan delapan hingga sepuluh kaset tape.

Setelah menceritakan proses awal sebelum menulis novel, Muhidin menceritakan tentang kendala yang dia hadapi sebelum novelnya dicetak. Salah satu kendala itu adalah penolakan dari calon pencetak sampul novelnya. Penolakan juga terjadi di pihak calon penerbit novel Muhidin. Dua orang editor di penerbitan mengancam akan mengundurkan diri jika buku Muhidin tetap diterbitkan. Ancaman tersebut membuat Muhidin memutuskan mencari penerbit lain.

Setelah akhirnya berhasil terbit, novel Muhidin langsung habis terjual di Shopping Center Yogyakarta dalam waktu satu minggu. Setelah diselidiki olehnya, pemborong novelnya adalah dosen-dosen salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta.

Masih berhubungan dengan proses penyebaran, Penerbit Gramedia, menurut Muhidin, sempat menawarkan mencetak novel tersebut sebanyak empat kali. Muhidin menolak dengan alasan takut karyanya dibaca lebih banyak orang karena diterbitkan penerbit besar. Menerbitkan buku lewat penerbit besar dinilainya akan membahayakan dirinya lebih jauh.

Pada 2003, novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur sempat dihentikan peredarannya. Walaupun sempat dihentikan peredarannya, novel itu telah dicetak lebih dari sepuluh kali.

Novel Muhidin tak lepas dari masalah-masalah setelah berhasil terbit. Hingga kini, Muhidin telah dipanggil empat kali oleh polisi. Dia pun telah mengalami dua kali disidang tim dosen yang bermaksud mengecek kebenaran dalam novelnya.

Setelah Muhidin selesai menceritakan pengalamannya, Jitna salah satu peserta peserta diskusi, bertanya soal isi cerita novel Muhidin. Hal yang Jitna tanyakan adalah alasan Muhidin menulis kecenderungan tokoh utama dalam novel yang lebih banyak menyalahkan Tuhan ketimbang lingkungan. (Karena dalam diskusi isi novel sendiri tidak dipaparkan oleh Muhidin dan penanya tak menjelaskan lebih jauh soal sebab utama si tokoh menyalahkan Tuhan, kami tidak dapat memaparkan sebab itu lebih jauh pula). Lebih jauh, Jitna menanyakan dampak dari kemungkinan terbawanya pembaca pada karakter tokoh utama yang menurutnya tidak ‘lurus’ itu.  “Apakah (Muhidin, red) berniat untuk  membuat buku  yang meluruskan novel tersebut?” tanya Jitna menutup pertanyaannya.

Muhidin menjawab pertanyaan Jitna itu dengan menyatakan bahwa dirinya memang sengaja menciptakan karakter yang tidak ‘lurus’ (atau ‘ekstrim’ dalam bahasa Muhidin). Berbeda dengan kekhawatiran Jitna pada kemungkinan terbawanya pembaca pada karakter utama yang tidak ‘lurus’ itu, Muhidin menyatakan tidak khawatir. Menurut Muhidin, jika iman pembaca tidak ‘tipis’, pembaca tidak akan terjerumus ke dalam karakter tokoh utama yang dia ciptakan. Hingga saat ini, Muhidin tak berkeinginan menulis novel lain untuk ‘meluruskan’ karakter tokoh utamanya. Muhidin menilai telah banyak novel lain yang tokoh utamanya berkarakter ‘lurus’. “Biarlah pembaca (memilih, red). (Pembaca, red) berhak menentukan mau baca yang mana. Masih banyak buku yang lain,” tuturnya.

Setelah Jitna, David, seorang peserta lain, bertanya, “Bagaimana mengolah kata-kata dalam novel?” Alih-alih menjawab, Muhidin menceritakan hal lain. Muhidin menyatakan bahwa dirinya tak begitu tahu sastra. Sebelum menulis novel, dirinya lebih banyak membaca buku sastra dan panduan menulis sastra. Dirinya justru mulai mendalami sastra setelah menulis novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.

Setelah Jitna dan David bertanya, berbagai jenis pertanyaan masih dilontarkan beberapa peserta lain. Ada peserta yang menyatakan tidak suka dengan novel Muhidin. Ada pula yang memuji karya Muhidin karena novel Muhidin dinilai penting untuk menyindir kelakuan para aktivis islam ataupun pejabat seperti yang digambarkan dalam novel Muhidin.

Disalin dari: mediasastra.com

Buku ini bisa didapatkan di warungarsip.co. KLIK