Sebuah Buku tentang Buku

::alex r nainggolan, www.cybersastra.net

“Scripta manent verba volant—yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.”

Petikan di atas saya nukil dari buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M Dahlan. Bagi saya buku ini cukup unik, berisi sebuah catatan yang bermakna secara menyeluruh atau, tepatnya, mewakili keseluruhan karakter hidup penulisnya. Tentang bagaimana berharganya sebuah tulisan meskipun toh untuk membuat yang benar-benar abadi teramat sulit. Tulisan memang wujud yang unik dari kebudayaan manusia. Sebuah bentuk yang mungkin sudah ada sejak lama, ketika para manusia purba membuat catatan-catatan yang dipenuhi lambang di gua-gua gelap dan pengap.

Sebuah gelombang dan hentakan yang tak begitu dashyat, tetapi cukup untuk menenggelamkan kita dalam untaian sebuah cerita. Cerita yang ternyata dipungut dari keseharian yang biasa. Ihwal pergolakan batin pribadi, proses pencarian diri yang tak kunjung bertemu pada titik harapan pasti, dan sebagainya. Hannah Arendth mengemukakannya dalam sebuah ungkapan, “Derita menjadi tertanggungkan, ketika ia menjelma cerita.” Potret kehidupan yang tak utuh itulah yang ternyata sanggup membuat kita terharu. Sebuah perlambangan yang mungkin teramat kelabu, posisi seorang penulis menjalani hidupnya sendiri.

PADA mulanya saya rada kecewa ketika membaca buku ini secara keseluruhan. Halaman pembuka yang berisi catatan pembuka mengapa transkripsi ini disusun—yang bermakna isi keseluruhan buku ini—, ternyata mengelabui. Bagi saya memilih buku untuk dibeli bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi di sebuah toko buku dengan pembacaan berdiri dan kaki yang pegal sehingga mesti cepat-cepat memutuskan untuk membeli buku. Mulanya memang saya benar-benar tertipu, saya hanya membaca bagian-bagian awal yang bagi saya amat menarik. Bagian-bagian awal yang ternyata sebatas pengantar saja.

Tentang seorang perempuan sebagai wartawan lepas, yang memburu penulis yang dianggap sedang naik daun di Yogyakarta. Bagi perempuan itu, ada beberapa nama pilihan penulis berbakat yang kelak akan menggantikan penulis-penulis tua yang sudah bau kuburan. Di samping penulis yang diburu di Yogyakarta itu, di Bandung ada Anton Kurnia, Dinar Rahayu, dan Anwar Halid. Di Jakarta ada Binhad Nurrohmat, Sukidi, Burhanuddin, Ahmad Najib Burhani. Di Yogyakarta ada Islah Gusmian, Eko Prasetyo, J. Sumardianta, R. Sabroer Soenardi, Nurkahlik Ridwan, Puthut EA, dan Eka Kurniawan. Tinggallah si perempuan bernama Sekarwangi ini melakukan wawancara dengan penulis yang satu ini.

Maka dimulailah pencarian tersebut. Fragmen yang dipilah-pilah hingga pengakuan keduabelas. Usaha untuk menuliskan biografi seorang penulis yang ternyata—setelah ditemui—begitu sederhana. Penulis itu, dugaan saya, adalah Muhidin sendiri, yang mengayuh sepeda butut hitamnya. Pun ketika membuka halaman selanjutnya, temali cerita yang berhamburan tak jarang dihuni kegetiran. Bagaimana si aku yang berasal dari daerah pantai, bermula dari tidak tahu sama sekali (barang sedikit pun membaca) buku sampai akhirnya menemui dunianya di sana. Mulanya, saya menebak bahwa Sekarwangilah yang akan menjadi tokoh utama buku ini. Saya tertipu. Ternyata setelah saya membaca secara keseluruhan, buku ini hanya berisi biografi seorang penulis. Penulis yang kembali menuturkan kehidupannya sendiri.

Namun, ini merupakan sebuah usaha, usaha untuk menuliskan biografi dirinya sendiri. Meski di beberapa rangkaian ada yang disamarkan atau dilebih-lebihkan, sebuah usaha yang memang layak dihargai ketika seorang penulis menghadapi dunia buku sendiri dengan kecilnya honor tulisan, royalti cetak sebuah buku, atau permainan dunia kapitalis yang sudah merupa di segala bidang. Jika Anda membayangkan seorang penulis itu adalah orang kaya, bacalah buku ini. Niscaya pandangan Anda berubah! Memang, untuk kategori seseorang yang bukunya sudah banyak yang diterbitkan, ditambah dengan honor tulisan di media massa, seorang penulis yang sudah mapan—dapat dikatakan bisa hidup dari hasil tulisannya. Namun untuk pemula?

Dan simaklah penuturan si aku di buku ini: Bagiku, menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan dan bukan untuk dimuat. Kadang setelah aku menyelesaikan sebuah ulasan buku, maka kemudian meluncur dalam gumamanku adalah tulisan ini pasti dikembalikan. Aku harus akui bahwa aku tengah mengidap penyakit negative thinking (hlm. 145).

Begitulah kehidupan seorang penulis yang mencoba bertahan di tengah kepungan kehidupan yang serbamodern ini. Bagaimana ketika si tokoh kehabisan uang, sementara honor tak kunjung sampai? Pun harap yang tak selesai. Bagaimana ketika ia berharap tulisan dimuat di salah satu media. Atau ketika si tokoh menanyakan tulisan-tulisannya yang tak kunjung dimuat oleh redaktur koran. Meski pada akhirnya, tulisan itu pun dimuat, untuk yang pertama dan terakhir kalinya di salah satu koran. Bahkan lebih lanjut, si aku melanjutkan dari sepuluh tulisan yang dibuat, barangkali hanya satu yang dimuat. Itu pun tak pasti.

Kegetiran lainnya yang terciprat pada kisah ini adalah bagaimana si aku harus menjalani hidupnya dengan mengayuh sepeda bututnya yang hitam itu. Bahkan ketika dirinya gelisah sekalipun, ia terus mengayuh ke suatu tempat yang jauh walau kenyataannya ia kembali selalu menemui kegamangan dirinya sendiri. Dirinya yang selalu terasa miskin, tak berarti, dan dilanda banyak nasib sial.

Buku ini memadatkan banyak sisi, bagaimana pergelutan seseorang dengan dunia buku, yang dianggapnya sebagai “racun”—tetapi toh dirinya tetap bertahan. Kepasrahan seorang perantau yang singgah di Yogyakarta sampai akhirnya memutuskan dunia perbukuan menjadi bagian penuh dalam hidupnya, dengan paruh waktu yang dihabiskan dengan membaca dan menulis meskipun di beberapa bagian terpapar pula bagaimana tokoh dalam buku ini terpaksa terjerembab menjadi editor sebuah penerbitan kecil, digaji secara freelance. Juga bagimana ketika dirinya menghadapi kegetiran tentang sebuah cinta, yang baginya bertepuk sebelah tangan.

Buku ini semacam sketsa, bagaimana perjalanan hidup seorang pribadi, yang ternyata tak melulu diwarnai kesuksesan yang berarti. Bukan karena ia tak ingin berusaha keras, bukan karena dirinya begitu sok suci, melainkan karena suratan kehidupan yang panjang, berliku, dan memang tak selamanya mulus-mulus saja. Hal yang mengingatkan saya, pada rangkaian proses yang panjang untuk memasuki dunia kepenulisan. Rangkaian yang tak berhenti di satu titik saja, tetapi masih terus berlanjut. Dunia buku, kepenulisan, dan yang berbau aksara memang tak pernah berhenti untuk digeluti. Meski pada akhirnya si tokoh dalam buku ini merasa kalah.

Tiba-tiba saja aku tidak percaya pada semuanya. Bahkan kebenaran yang memeri di pelupuk matabatinku sekalipun.

Pagi itu kutemukan kembali diriku sedang menyapu dedaunan kuning-kering yang berserak di halaman pondokanku di bawah hujan tatapan perempuan Jawa beranak satu dari pintu yang agak berjarak. Aku sedang menghitung jejak jalan hidupku. (Hlm. 355).

Meskipun begitu, bagi saya ada yang janggal di sana. Buku ini dibuka dengan pengakuan wartawan perempuan. Ia mengakhiri catatan bahwa penulis itu sudah mati tertabrak sebuah bus pariwisata. Novel-biografi ini belum menyelesaikan kehidupan si penulis itu secara keseluruhan. Masih ada yang mengambang.

Teks tentang Teks

Sebuah teks bermakna rangkaian kata yang matang, menjalin sebuah pengertian sendiri yang semestinya sarat dengan muatan. Namun, saya tak menemukan hal itu di buku ini. Beberapa bagiannya ada yang terasa rancu ketika saya membacanya, patah-patah, untuk tidak mengatakan buruk. Contohnya dapat disimak pada halaman 17: Betapa mahalnya sebuah hobi hanya karena agar aku bisa belajar bahasa Indonesia yang baik. (cetak tebal dari saya, ARN). Ada kerancuan di sana, yakni bagian “hanya karena agar”. Sebenarnya ini tugas editor, tetapi ternyata sang editor tidak maksimal melaksanakan tugasnya untuk memangkas atau mengubah sehingga menjadi efisien dan hemat, tetapi tetap bermakna sama.

Bagi saya, teks akan berguna apabila ia berhasil menarik minat pembaca. Bukan dengan ungkapan gagah yang berasal dari bahasa asing, melainkan dengan kesederhanaan. Akan tetapi, tampaknya para penulis kita masih terperangkap pada hal-hal semacam ini. Menggunakan kata-kata yang sulit, ngejelimet, dan rumit dianggap penulisnya memiliki kadar intelektual yang lebih. Mereka lupa jika pembaca itu beragam. Pembaca itu banyak dan tentunya tingkat intelektualnya juga berbeda. Meskipun teks tak selalu bermakna tunggal, selalu ada beda penafsiran yang mungkin justru menguatkan karya itu sendiri.

Memang, terkadang teks begitu keras kepala, terkadang pula si penulis tidak mampu mengatur sesuai dengan kehendaknya. Karena itu, apa yang sebenarnya diinginkan oleh penulis belum tentu maknanya sama dengan teks yang dihasilkan. Sesungguhnya, di sinilah peran editor atau pembaca pertama teks itu. Ia dapat memangkas dan membuang bagian-bagian yang dianggap tidak sesuai dengan pengertian sebenarnya.

Saya menganggap buku ini masih dapat dibongkar lagi. Masih bisa dibedah secara lebih lanjut. Mungkin dengan demikian akan terasa bagaimana kata-kata itu bekerja dengan maksimal. Namun, lepas dari itu semua, usaha yang dilakukan Muhidin patut dikenang, bagaimana ia berusaha menjabarkan kehidupan dunia perbukuan dan dirinya yang tenggelam di dalamnya. Sebab, sebagaimana yang tertera di awal halaman buku ini, Sekarwangi sendiri sudah tidak percaya pada Sokrates yang mengatakan: hanya orang-orang besar yang patut menjadi tragedi untuk menjadi teladan keagungan martabat, sementara rakyat kebanyakan hanya pantas menjadi tokoh-tokoh komedi, untuk menjadi olok-olok.**

———————
) Alex R. Nainggolan, pembaca buku. Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Kuliah di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jawa Pos, Sabili, Annida, Lampung Post, Sriwijaya Post, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll. Alamat (kost): Jalan Tupai gang Duku No. 40 Kedaton, Bandar Lampung 35147. Nomor telepon: 0815-4038046