::gus muh
“Din, kalau kamu memaksakan diri menulis dengan cara tabrak sana/tabrak sini dan style lugu terkdng wagu, itu sama saja kamu mengabarkan kebodohanmu sendiri.”
Kutipan itu saya ambil dari seorang kawan akrab yang mengomentari–tanpa saya memintanya (terima kasih ya!)–dua buku saya yang terbit hampir bersamaan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! dan Aku, Buku, dan sepotong Sajak Cinta (terbit kembali dengan judul: Jalan Sunyi Seorang Penulis).
Awalnya, muka saya merah padam juga membaca isi SMS-nya itu. Bukanlah apa, yang mengirimkan komentar itu adalah juga yang mendudukkan diri sebagai penulis, namun dalam kenyataannya saya belum melihat sebiji pun bukunya. (Padahal, konon, ia dibiayai [ala kadarnya] oleh sebuah lembaga donor untuk menulis buku. Paling-paling satu dua buah puisi dan satu dua esai atau cerpen yang diterbitkan secara sporadik di beberapa tempat. Itu pun dalam rentang masa yang lama).
Saya punya dua asumsi waktu itu. Kesatu, itu adalah nasihat dari seorang kawan yang menginginkan saya menulis lebih baik. Betapa tidak, dua buku itu adalah buku debutan saya belajar menulis buku fiksi. Kedua, boleh jadi kawan itu merasa tersinggung sekali karena dalam salah satu buku itu saya sedikit-sedikit menyerempet namanya dalam salah satu adegan.
Tapi saya menampik dan melupakan asumsi yang kedua. Saya lebih meyakini yang pertama, bahwa kawan itu menasihati saya untuk menulis yang lebih baik. Mengikuti ujaran sastrawan Latin Gabriel Garcia Marquez, tugas seorang penulis adalah menulis yang baik. Dan saya coba menggapai itu: “menulis yang baik”. Tentu sudah bisa ditebak bahwa saya memulainya dengan buruk rupa. Dan saya sadar dengan itu.
Seperti terwakili dalam kritik Anwar Holid, seorang kawan-baik hati asal Bandung ketika mengomentari buku saya Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta: “Gaya bahasa dan diksi yang digunakannya pun biasa saja, sukar dikategorikan dalam sastra yang baik, tanpa metafora menarik, tak ada percakapan yang betul-betul menggugah, bahkan soliloquinya pun kerap terarah pada kekhawatiran dan kekecewaan. Padahal buku yang baik adalah buku yang mencoba menambah wawasan, mencoba menjawab pertanyaan, membutuhkan kedalaman dan kedewasaan berpikir….”
Lalu bagaimana menanggapi komentar-komentar seperti itu?
Komentar dan kritik itu pada dasarnya positif dan dibutuhkan seorang penulis untuk membangun jaringan pengetahuan yang lebih baik dan sempurna. Saya percaya itu. Namun juga tak sedikit yang disebabkan oleh komentar (kritis dan keras)–utamanya penulis (pemula)–limbung dan kehilangan gairah untuk menulis.
Saya sendiri?
Saya sudah dengan sadar telah memilih jalan menulis. Maka tugas saya adalah menulis. Buruk atau tidak, itu urusan belakangan. Saya sangat terbantu dengan segores kalimat Carmel Bird tatkala menulis bahwa, “Dalam hal apa pun, penulis adalah orang yang menulis. Jika Anda tidak menulis, Anda bukan penulis. Anda bukan penulis kalau belum menuangkan kata-kata ke atas kertas. Hitam di atas putih. Menulis adalah kerja. Meskipun Anda menulis fiksi.”
Ya, tugas seorang penulis adalah menulis (dengan baik). Bukan penulis dia kalau tidak ada tulisannya. Sebagaimana tugas penyair adalah menulis puisi. Bagaimana disebut penyair kalau nulis puisi saja jarang. Syukur-syukur publik bisa menemukan sebiji karyanya dalam dua tahun perjalanan waktu.
Dan urusan kualitas tulisan apakah baik atau tidak, sekali lagi, adalah urusan lain. Urusan nanti. Itu urusan kritikus, pengamat, atau secara umum itu adalah urusan pembaca. Sebab tugas penulis adalah menulis. “[…] Itu terserah pembaca yang menafsirkannya. Tugas saya hanya menulis,” tegas Pramoedya Ananta Toer puluhan tahun silam.
Ya, untuk bisa menulis, ya mesti menulis, menulis, dan menulis. Tidak bisa tidak. Tapi tidak sedikit yang tak pernah bisa menyelesaikan tulisan secara utuh. Dalam hal ini menulis buku. Banyak yang berhenti di tengah jalan. Tak sedikit yang berhenti dalam angan-angan. Atau kalau tidak, setelah gagal mencoba menjadi penulis, mereka mengubah profesi menjadi pengajar bagaimana cara menulis yang baik.
Saya jadi teringat wejangan novelis William Forester kepada murid sekaligus sahabatnya yang masih duduk di kursi SMU, Jamal Wallace dalam film Finding Forester. “Faktor pertama dalam menulis adalah menulis. Banyak sekali orang tahu aturan menulis, tapi tak tahu caranya menulis. Profesormu itu (Robert Cramford, profesor penulisan di kelas Jamal), karena gagal bersaing denganku menjadi penulis dan bukunya ditolak oleh penerbit, akhirnya banting stir mengajar bagaimana cara menulis. Jadi, problem menulis adalah menulis itu sendiri.”
Menjadi penulis berarti dituntut untuk berkarya. Menulis.
Saya, misalnya, sangat tahu diri bahwa karya saya sangat rendah mutunya, tapi toh saya tak mau berhenti dalam kutukan atas diri sendiri itu. Sebab saya sungguh sadar bahwa menulis, sampai pada titik “menulis yang baik”, membutuhkan proses. Dan itu tak mudah. Berliku dan berdarah-darah. Terkadang banyak yang tak mau tahu dengan proses panjang yang mendaki dan berliku ini. Mereka mencaci dan memaki. Tapi bagi penulis, sikap terbaik membalas cacian adalah berkarya. Ketika banyak orang mencemooeh saya karena buku pelacur terkutuk itu, saya sodorkan buku yang lebih tebal, berat, dan gelap.
Para pemaki itu juga belum puas. Masih mengatai macam-macam, saya sodorkan lagi buku yang tak tebal, tak gelap, tak serius. Main-main malah. Eh, mereka tak henti juga mencaci dan mengatai macem-macem. Sudah, sya istirahat saja dulu sambil memnyaipkan seluruh energi untuk pertarungan lebih besar.
Seorang penulis adalah pendendam? Ya! Harus! Harus! Saya adalah petarung dan menyiapkan diri memasuki pertarungan. Saya atau pembacakah yang ambruk. Pasti mereka memaki lagi. Tapi biarlah, saya akan siapkan diri untuk masuk gelanggang perkelahian jika menulis buku itu adalah usaha berkelahi. Dan saya memahami menulis buku sebagai sarana berkelahi dan berdarah-darah. Berkelahi dengan apa saja: berkelahi dengan pembaca yang asesif, sinis, maupun pasar liberal dengan tangan besinya.
Jika saya tak merumuskan demikian, maka tersungkurlah saya ditekuk-tekuk pembaca yang memang tak kurang kejamnya. Tersungkurlah saya dengan pasar buku yang misterius, tak gampang ditebak, dan sangat kejam. Tak apalah. Ayo, ayo, ayo!!!!
Banyak betul, penulis-penulis pemula digertak pembaca dan pasar mengkeret tiada ampun. Tak sedikit yang terjatuh di tengah kubangan jalan yang menikung. Lalu berlari malu-malu keluar dan menyingkir jauh-jauh dari jalan kepenulisan.
Mengapa itu bisa terjadi? Entahlah! Selain karena mentalnya bukan mental petarung, mungkin saja sang (calon) penulis belum apa-apa sudah memosisikan mutu karyanya seperti mutu karya penulis-penulis berkelas ketika buku debutan pertamanya akan terbit. Kalau asumsi yang diternakkan di pikiran begini ini, wajarlah bila karyanya tak kunjung-kunjung lahir. Bahkan karya sederhana sekalipun. Apa sebab? Mereka menggayuti dirinya sendiri yang masih dalam proses memulai dengan patokan standar yang begitu melambung tinggi. Ini yang disebut tidak mengukur kemampuan diri. Karena itu jangan terlalu berharap banyak ada karya yang lahir dari pikiran seperti ini. Sudah mampus sejak dalam pikiran.
Menerbitkan karya adalah sebetulnya menguji kemampuan kita dalam mengolah kata membentuk kalimat menyambung paragraf menemukan makna. Sebuah proses pengasahan ketajaman dan kelincahan mengutak-atik bahasa sehingga melahirkan makna bagi pembaca. Sekecil apa pun makna itu. Saya kira setiap kehebatan selalu dimulai dari hal-hal yang kecil dan kesungguhan untuk selalu mencoba. Tanpa henti-hentinya.
Bila kemampuan menulis setiap hari diasah, maka bukan tidak mungkin pada suatu hari kelak namanya bisa “diperhitungkan” atau bahkan menjadi legenda dalam jagad tulis-menulis. Tentu itu bukan hanya impi-impi. Tapi harus dilakukan dalam alam yang senyatanya. Harus dengan kerja keras dan leleran peluh.
Kerja keras. Itu dia kuncinya. Kata seorang kawan penulis dari Malang–Nurudin namanya–dalam menulis hanya 10 persen bersangkut dengan soal bakat, sisanya (90 persen) adalah kerja keras dan ketekunan. Saya menduga dia mengutip dari pernyataan Alva Edison.
“Bakat saja tidak cukup. Harus kerja keras,” Yohanes Surya, ketua FOSI, suatu kali pernah menegaskan dalam konteks ketika ditanya bagaimana mempersiapkan manusia Indonesia meraih Hadiah Nobel Fisika pada 2020 nanti.
Yohanes mencontohkan kasus Masatoshi Koshiba, peraih Nobel Fisika 2002. Sebetulnya Koshiba ini tak terlalu pintar. Ia tidak diterima di universitas karena nilainya jelek. Profesor yang menguji memberi rekomendasi agar Koshiba dibawa ke profesor lain. Bunyinya: “Saya tak kasih rekomendasi, tapi kalau Anda mau terima, silahkan!” Ternyata dia dapat nobel. Karena kerja keras. Mati-matian mengerjakan sesuatu. (Silakan baca buku Yohanes berjudul MESTAKUNG. Buku tipis itu membuat saya berkeringat membacanya selama dua jam nonstop)
Tentu yang takkan terlupa adalah nama Thomas Alva Edison. Dialah yang memecahkan rekor penemuan dunia: 1000 penemuan dan semuanya sudah dipatenkan. Sungguh mencengangkan dan tak masuk akal.
Di antara temuannya yang mudah diingat adalah bola lampu listrik, mesin telegram, mesin kopi dan tempat penyimpanan yang digerakkan baterai, serta piringan hitam. Tapi orang banyak tidak tahu bila otak Edison sungguh pas-pasan. Coba simak pengakuannya: “Saya ingat, saya tidak pernah memahami pelajaran yang diberikan guru saya, dan sampai saat ini pun saya tetap tidak memahaminya, dan akibat dari itu nilai di sekolah saya selalu jeblok alias rendah. Dahulu saya mengira bahwa guru-guru saya tidak menaruh simpati pada saya dan ayah saya menganggap saya sebagai orang yang bodoh. Bahkan seorang guru terang-terang mengatai saya murid yang berotak udang dan tidak ada gunanya bersekolah.”
Lalu apa yang dipunyai Edison sehingga ia oleh Michel H Hart dimasukkan dalam deretan the 100 of the most influential persons in history?
Kerja keras! Tak lain dan tak bukan dengan itu.
Kita juga barangkali mengingat nama Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Semua orang yang melek sastra pasti tahu bahwa Pramlah sastrawan terkemuka dan terproduktif dalam berkarya. “Pram adalah pengarang prosa nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini,” puji A Teeuw, kritisi sastra asal Belanda.
Dan sumbangannya kepada dunia sastra Indonesia tak usah disangsikan. Tapi siapa yang mengira bahwa otaknya juga pas-pasan. Dua kali tinggal di kelas empat SD. Dan di kelas tujuh, kelas terakhir Boedi Oetomo di Blora, ia tinggal lagi di kelas. Oleh ayahnya yang juga kepala sekolah ia dikatai begini: “Anak goblok! Kalau kau sedikit saja cerdik… kembali, ulangi di kelas tujuh.” Saat itu Pramoedya menjadi “pendendam”. Untuk melawan kutukan “anak goblok” itu ia bekerja mati-matian. Terutama dalam dunia tulis-menulis. Pram tak punya bakat menonjol dalam kejeniusan. Tapi kalau kerja keras dan ketekunan, tak usah sangsi. Sekali lagi, kerja keras!
Mestinya penulis juga demikian. Tidak hanya pemula, tapi siapa pun yang bergerak di dunia ini. Tak kenal lelah dalam bekerja. Dan pekerjaan penulis adalah menulis (sudah termasuk di dalamnya membaca dan meriset). Ingat, tugas seorang penulis adalah terus menulis. Rutin dan terus-menerus begitu! Bukan penulis kalau tidak menulis. Yang berkoar-koar, memuji karya di sana menyesali karya di sini tapi tak pernah sanggup berkarya, bukanlah penulis. Mereka pengkhotbah. Mereka pewejang. Pelisan.
Yang sibuk mendakwa karya penulis lain dan sibuk menangkis celaan yang sekiranya datang tiba-tiba, juga bukan penulis. Mereka sama-sama penghujat dalam dua posisi yang berlawanan dan dengan mudah bisa bertukar tempat.
Barangkali, kalau boleh dibilang, satu-satunya musuh yang harus dituntaskan dalam tugas kepenulisan penulis adalah keterbelahan diri dan ketakutuhan pemahamannya atas dirinya sendiri. Dan tugas yang lain barangkali adalah mengatasi depresi akibat represi ketakutan apabila tak mampu memahami realitas diri dan kontur sosial di mana sang penulis menjalankan hidup.