Jika museum adalah ruang di mana ingatan diseleksi dari ribuan item peristiwa masa silam, maka Golkar adalah item yang sangat tidak ingin diingat di Museum H.M. Soeharto. Golkar yang menjadi partai paling berkuasa selama tiga dekade bersama dengan naik pasang dan stabilnya Soeharto di takhta kepresidenan menjadi tak ubahnya, maaf, sebutir upil di bawah laci di museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini.
Alih-alih Golkar, justru Museum H.M. Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul ini menempatkan PKI sebagai satu-satunya partai politik yang memberi latar dan narasi besar bagi kejayaan Soeharto. PKI dan logonya palu arit, baik dalam bentuk diorama maupun desain klipingan koran di dinding museum biografi ini mendapatkan hampir 50 persen tempat. PKI menjadi pal dasar bagi sebuah loncatan terbesar dalam sejarah politik hidupnya; dari seorang serdadu yang dibesarkan dalam keluarga ulu-ulu di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta menjadi penguasa yang paling kuat di Asia Tenggara.
Masuklah di beranda perpustakaan Museum H.M. Soeharto. Tak satu pun buku sejarah Golkar Anda temukan di dalamnya. Selain enam jilid kronik prestasi pembangunan, sejumlah biografi yang menjunjung nama dan prestasi pembangunan Soeharto, 20 jilid buku kliping tentang lini masa pemerintahan Soeharto yang terbit pada 2008, buku tentang PKI-lah yang menempati deretan terbanyak. Bahkan lima jilid Sejarah PKI versi Angkatan Darat dalam cetak luks bisa dibaca leluasa oleh semua umur.
Tentu saja, buku-buku yang “membela” kiprah politik PKI seperti karya Ruth T McVey Kemunculan Komunisme Indonesia (2010) jangan harap ditemukan di beranda perpus museum ini. Tentu saja, biografi-kritis Soeharto tak mendapatkan hak-tinggal seinci pun dalam rak sepanjang 6 meter itu, seperti karya R.E. Elson Suharto: Sebuah Biografi Politik (2005), Richard Robison Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (2012), dan Julie Southwood & Patrick Flanagan Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 (2013).
Belum lagi video tron di bangunan limasan depan museum yang diputar berulang-ulang sepanjang hari dan wajib ditonton ratusan pengunjung yang umumnya anak-anak sekolah dari TK hingga SMA yang isinya tentang “prestasi” Soeharto menindak PKI dan menyelamatkan negara dari kekacauan.
Di video tron durasi 10 menit itu tampak PKI adalah lawan kuat dan paling bajingan bagi Soeharto di satu sisi, sementara di sisi lain menjadi “kawan sepemundakan” dalam narasi panjat pinang politik. Darah anggota dan simpatisan PKI menjadi semacam minyak pelicin yang dioleskan di batang pinang untuk memberitahu bergenerasi-generasi manusia Indonesia betapa pembangunan diraih dengan susah-payah.
Museum H.M. Soeharto oleh keluarga trah dan para pewarisnya pemikirannya memberitahu terang-benderang bahwa tanpa Golkar, Soeharto tetap kuat dan eksis. Nyaris dalam semua pose, Soeharto lebih bangga dengan uniform militer/tongkat komando dan jas safari ketimbang jas warna kuning kebesaran partai Golkar.
Golkar di mata Soeharto, sebagaimana direpresentasikan museum H.M. Soeharto ini, tak ubahnya syarat formal belaka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem politik di Indonesia sudah sesuai dengan syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi. Posisi formil Golkar yang bertarung tiap lima tahun dengan PPP dan PDI sekadar dalih agar “demokrasi pancasila” menjadi filsafat ilmu yang layak diajarkan di semua kampus, khususnya mahasiswa semester awal.
Karena posisinya yang minor berhadapan dengan figur kuat Soeharto itulah, Golkar tak mendapatkan tempat apa pun di dalam museum. Soeharto hendak mengatakan lewat petanda yang ditebar di semua dinding selasar dan sudut-sudut ruangan museum bahwa PKI lebih laik berumah dalam ingatan ketimbang Golkar.
“Pengorbanan” PKI yang tak bertara pada pesta-darah 1965-1966 rupa-rupanya lebih pantas dirayakan dalam Museum H.M. Soeharto ketimbang kehadiran artifisial Golkar dalam sejarah kepemimpinan politik, sistem demokrasi pancasila, dan derap ekonomi pembangunan Soeharto selama tiga dekade. [gusmuh]
- Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo edisi 6 Oktober 2014