Dampak dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal untuk korban pembantaian massal 1965 di Den Haag, Belanda (10-13 November 2015) melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium Tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April itu tak saja menunjukkan respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu, tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para jenderal berpikir dan berkata-kata.
Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun Reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu: “Pancasila adalah ciptaan Tuhan”. Konteks ucapan itu adalah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Dan setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.
Saat diskusi buku Ideologi Saya adalah Pramis di pergelaran “Jogja Itoe Boekoe” di pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk “Buku Murah” di Gresik dan Pare-Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari “atasan”.
Cak Udin yang notabene santri itu hanya bisa masygul. “Mending mbayar. Ngambil gitu saja. Itu pakai modal cuk!” katanya. Dia seakan tak percaya, sweeping buku secara semena-mena tetap dilakukan bahkan ketika Mahkamah Konstitusi sudah mencabut UU Pelarangan Buku pada 13 Oktober 2010. Pencabutan undang-undang itu menandaskan perkara pelarangan buku diselesaikan lewat pengadilan dan bukan kesewenang-wenangan di lapangan.
Namun, ini soal penyakit yang kambuh. Semulia-mulianya undang-undang, tak bisa mematahkan penyakit kambuhan bernama paranoia terhadap bacaan. Mei ini pekerja buku di Jogja sedang dilanda was-was munculnya seruan sweeping buku kiri yang bahkan menunjuk langsung nama-nama penerbit yang bakal disikat.
Masih terlalu segar diingat bagaimana nyaris sepanjang bulan Mei, 15 tahun yang lalu, Jakarta dan Yogyakarta dikagetkan dengan praktik perampasan buku yang massif.
Diawali dengan patroli Aliansi Anti Komunis (AAK) yang mengumpulkan dan membakar buku-buku kiri, antara lain Pikiran Karl Marx karya Frans Magnis Suseno, Tetralogi Pulau Buru dan Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Hubungan Soeharto dan Kup Untung karya Wertheim, Bayang-Bayang PKI (Stanley, ed), Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan karya Edy Haryadi cs, dan Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka. Buku-buku Mao, Lenin, Che Guevara juga turut disapu.
Lantaran bersemangatnya, di Yogyakarta, misalnya, buku yang menampilkan tokoh berjanggut lebat juga diembat. “Karya Yusuf Qardhawi saja dirampas oleh laskar-laskar itu hanya karena janggutnya dan tak mengetahui isinya sama sekali,” kata penulis Eko Prasetyo suatu ketika.
Mereka tidak saja berbaris di antara rak-rak di toko buku, tapi menyerbu kos dan kontrakan mahasiswa di kawasan Universitas Pancasila, Lenteng Agung di Jakarta Selatan. Buku kiri tersebut dikumpulkan dan langsung dibakar di depan mahasiswa.
Aliansi yang terdiri dari 33 organisasi massa ini bisa seberani ini karena ada lampu hijau dari serdadu loreng dan cokelat. Bahkan mereka ingin juga membongkar Tugu Tani di Jakarta Pusat karena itulah simbol komunis yang tersisa di jantung Ibu Kota dengan sebutan angkatan ke-5.
Orang-orang buku repot betul dengan peristiwa 15 tahun silam di bulan Mei itu. Tokoh-tokoh cendekia berhimpun dan menyatakan pendapat. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang membawahi 325 penerbit buku se-Indonesia bersama asosiasi perbukuan bahkan mendatangi Kapolri, Kejaksaan Agung, dan DPR. Organ Gabungan Toko Buku Indonesia juga angkat suara.
Segala kerepotan 15 tahun silam itu tampaknya diulangi lagi dengan setepat-tepatnya, sepandir-pandirnya. Internet yang menawarkan keterbukaan informasi dan keluasan bacaan tanpa batas sepertinya sama sekali tak punya bekas apa-apa untuk mempertahankan akal sehat dan menahan diri melakukan perbuatan banal.
Jenderal-jenderal kita saat ini di kepolisian dan ketentaraan melakukan reaksi balik atas tuntutan pengungkapan HAM berat masa silam dengan cara-cara purba. Tindakan yang kita saksikan akhir-akhir ini dengan memakai kerumunan tangan sipil jauh dari impi-impi ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Wirahadikusumah berjibaku melakukan reformasi di tubuh TNI pasca 98.
Jenderal-jenderal dan segenap penjabat di Istana Merdeka, wabilkhusus Seskab Pramono Anung yang notabene lama betul menjadi penjabat teras partai titisan Sukarno (PDIP) memberi lampu hijau atas barisan perampasan dan penangkapan dalam masyarakat. Alih-alih para penjabat teras ini memanfaatkan momentum “Simposium 65” yang berlangsung damai itu sebagai upaya PDIP mengembalikan marwah Sukarno yang diambil dan dirudapaksa semena-mena oleh Angkatan Bersenjata Harto, malah ikut nalar agresi dengan kebencian yang meluap-luap.
Ikhwan fillah, jika Anda berjumpa kepada para perampas di depan pintu Anda, padahal Anda bukan kriminil, semprotkan Keputusan MK tahun 2010 tentang Pelarangan Buku:
Mari ucapkan: marhaban ya sweeping buku! [Muhidin M. Dahlan]
* Versi cetak dipublikasikan Jawa Pos, 12 Mei 2016.