Jurnalistik dan Sepak Bola

Di setiap pertandingan akbar sepak bola, baik levelnya dunia maupun benua atau bahkan laga ter-domestik (tarkam), jurnalistik adalah pilar penting. Di antara teriakan dan dengung suara parau suporter sepanjang pertandingan, di sana ada jurnalis yang duduk tekun mengamati, mencatat, memotret, merekam. 

Serupa pertapa, jurnalis dengan jumlah yang minimalis dan duduk di beberapa sudut lapangan itu dengan segala peralatan yang melekat di tubuhnya menjadikan sepak bola bergemuruh ke seluruh dunia. Bahkan, membuat panik penduduk yang berada di pojok negeri dengan jalanan makadam dan berlumpur di mana asupan listrik yang minimalis dan tangkapan sinyal parabola menjadi cerita menyedihkan.

Sepak bola dengan jurnalistik menjadikan dunia tahu Cristiano Ronaldo menjadi manusia setengah dewa bagi bocah di Aceh yang saat berseragam Portugis di Euro 2016 dan nyaris seuruh Piala Dunia yang dilewatinya selama ini terus menampilkan performa yang melempem ketimbang saat mengenakan jersey klub.

Dengan perkawinan jurnalistik dan sepak bola kita jadi tahu bukan cuma soal jenis tato tribal dan sepatu warna-warni pemain yang sediakan apparel megakaya yang dibikin oleh tangan-tangan budak “kapitalisme yang dermawan” abad 21 yang hidup seperti lalat di negeri-negeri kelas kambing di Asia dan Afrika, tapi juga perkembangan sepak bola di negeri liliput bernama Islandia yang nyaris sepanjang tahun hidup sepi dalam halimunda yang dingin.

Keterlibatan yang masif jurnalistik dalam sepak bola menyeret semua orang jadi tahu peristiwa-peristiwa kotor dan banal di luar stadion yang kemudian menjadi bahan bakar mesin caci maki yang bisa menyeret kerusuhan massal, rasialisme, dan memicu lahirnya babakan kesialan hidup. 
Di sana, jurnalistik adalah kesaksian. Karena fungsi “kesaksian” itulah, setiap koran yang punya kemampuan finansial tak mau hanya menjadi sekadar “penerjemah” berita di belakang meja, tapi juga mengirim jurnalis-jurnalis terbaiknya secara bergiliran ke jantung pertandingan. Tahun ini, di Euro Cup yang berlangsung di seantero Prancis, Jawa Pos—untuk menyebut salah satu contoh—mengirimkan  tiga jurnalistiknya, Baskoro Yudho, Ilham, dan Ali. Dua tahun lalu, koran ini juga menerbangkan jurnalistiknya ke Brasil di arena World Cup untuk membagi kesaksiannya yang luput dari kamera dalam stadion.

Di level mana pun, jurnalistik  adalah mesin penyumbang utama bahan obrolan yang membuat sepak bola berdenyut nyaris tiap hari dalam keseharian masyarakat; sebagaimana berita sepak bola secara harian selalu menempati halaman khusus dalam koran cetak dan daring yang “terpisah-secara-sengaja” dari rumpun induknya, yakni “Olah Raga”.

Untuk mengukuhkan hubungan itu, sepak bola kerap dijadikan (institusi) jurnalistik sebagai simbol menyatukan silaturahmi yang kerap renggang oleh persaingan memperebutkan pembaca. Mungkin, “perasaan silaturahmi” inilah yang mendorong lahirnya “liga wartawan” saban Hari Pers Nasional digelar.

Dalam “liga wartawan” yang kerap diadakan di ibu kota dan samar-samar ada dalam lini masa pemberitaan, sepak bola menjadi sekadar komplemen dan pelarian dari penat. Sepak bola mirip alat bantu relaksasi yang bisa dengan mudah diganti dengan mesin. Tak ada motif tambahan selain itu. 

Dengan demikian, jurnalistik tetap sebagai agensi asing yang berada paling pinggir dalam gebyar pesta sepak bola. Soal Ronaldo yang melempar mik seorang jurnalis layar kaca di Euro Perancis karena penampilannya yang membosankan, bisa menjadi konfirmasi bahwa jurnalis diberi penghormatan saat mereka bisa diajak kerja sama sebagai humas dalam soal pemujaan atas bintang dan institusi, namun kembali menjadi sampah yang riwil bila terlalu banyak cakap dan sok tahu.

Jurnalis Progresif Asia-Afrika dan Sepak Bola

Karena kerap dianggap bisanya hanya menulis dan sok tahu itulah, para jurnalis yang berdiam di Asia dan Afrika di sebuah masa yang jauh memutuskan menyelenggarakan sepak bola untuk “menggarami” konferensi yang mereka selenggarakan. Dan, jurnalis-jurnalis Indonesia adalah insiator dan pelaksana pertama kali di dunia soal itu.

Lemparkanlah memori Anda hingga tahun 1963 saat jurnalis-jurnalis kiri dan progresif mempersiapkan konferensi pertama para jurnalis dunia yang berdiam di Asia dan Afrika, Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA). Konferensi yang “direstui”  langsung Sukarno dan istrinya Hartini yang sekaligus bertindak sebagai ketua panitia kehormatan ini, tak saja mampu menghadirkan jurnalis yang memiliki visi progresif dengan Sukarno dan elemen-elemen progresif pendukungnya di Jakarta, namun juga “memaksa” beberapa negara peserta konferensi membawa serta kesebelasan negaranya untuk bertanding di Jakarta. Sepak bola yang diselenggarakan di Gelanggang Olah Raga Bung Karno pula yang menjadi penanda dibukanya Konferensi Asia Afrika, 25 April 1963.

Nyaris setelah Kiri dimusnahkan di bumi Indonesia, kita tak pernah menyaksikan lagi sebuah konferensi jurnalistik berskala internasional dibuka bukan dengan palu sidang, melainkan peluit wasit di hadapan 60 ribu suporter sepak bola. Kesebelasan Republik Demokratik Vietnam, Republik Rakyat Tiongkok, Republik Persatuan Arab, Kamboja, dan Indonesia yang dipimpin wasit-wasit dari Cekoslowakia memperebutkan piala “Sukarno Cup” yang dibikin seniman-seniman patung dari Yogyakarta.

Jurnalis-jurnalis kiri itu seperti menahbiskan beberapa hal sekaligus dalam satu tarikan semangat bahwa Gelora Bung Karno, Piala Sukarno, dan persatuan jurnalistik yang senasib memandang kerja jurnalistik dan sepak bola adalah dua bejana beririsan dan bukan yang satu komplemen dari yang lain. Sepak bola dan jurnalistik adalah sebuah visi dan sekaligus pernyataan politik massa. 

Bandul utama yang menyatukan itu semua adalah Sukarno. Saya baca kliping berita ini di antara detail laporan kesebelasan Indonesia keluar sebagai juara tiga “Sukarno Cup” setelah mengalahkan Vietnam 3-1 lewat gol Komar, Maurits, dan Lexi: “Dengan bangga bayinya ia namakan SUKARNO! Demikianlah ditengah2 kesibukan KWAA, seorang wakil dari Republik Mali bernama Kanote Djamil menerima telegram dari isterinya bahwa ia mendapatkan seorang putra yang sehat dan mungil, yang dilahirkan jauh ditengah Afrika sana. Dalam keterangan mengapa ia berikan nama SUKARNO bagi bayinya, Kanote menyatakan bahwa ‘nama Presiden Sukarno tak asing lagi!’” (BT, 30 April 1963, hlm 1, kolom 8)

Kepada jurnalis-jurnalis progresif yang tersebar di puluhan negara yang menjadi peserta KWAA itulah Sukarno berpesan untuk tak memisahkan antara jurnalistik dengan kenyataan politik imperialisme yang mengamuk di Asia dan Afrika. Lewat kerja jurnalistik dan sepak bola umat manusia mesti disatukan dalam satu kapal impian yang megah membangun dunia masa depan yang lebih baik.

Tampilnya RPA sebagai juara “Sukarno Cup” setelah sukses mengalahkan kesebelasan RRT, sepak bola yang diselenggarakan jurnalis-jurnalis itu kemudian dijadikan tapak penting sebagai pra-pembuka bagi lahirnya “Olimpiade Negara Kiri” yang bernama Ganefo tujuh bulan berikutnya di Jakarta, yakni 10 November 1963. Olimpiade ini yang mempercepat konsolidasi Amerika Serikat untuk menjatuhkan Sukarno beserta seluruh pendukung kirinya. Termasuk jurnalis-jurnalis progresif yang membuka konferensinya dengan benda kecil di mulut wasit bernama peluit.

Dan cerita di esai ini dalam sejarah jurnalistik Indonesia dan sepak bola menjadi tak ubahnya dongeng karena (sengaja) tak dituliskan dalam cerita resmi historiografi. Ini adalah kisah dari kiri jalan sejarah Indonesia yang jauh dari terang. [Muhidin M. Dahlan]

* Versi cetak dipublikasikan pertama kali Jawa Pos Edisi Minggu, 3 Juli 2016