10 Tahun Kebudayaan Rezim Jokowi: Seperti Politiknya, Seperti Itu Kebudayaannya

Tujuan kebudayaan nasional bukan Indonesia Raya (ekspansif), melainkan adalah Indonesia Bahagia. Titik.

Tujuan besar itu diputuskan pada Kongres Kebudayaan Nasional 2018. Seluruh gerak (gerik) budaya, ujung jalannya adalah Indonesia Bahagia. Sebuah frase yang tercipta pada 28 Oktober 1928 dan tercetak di lirik Indonesia Raya-nya Wage Rudolf Soepratman versi tiga stanza. 

Tetapi, untuk bisa sampai ke sana, untuk sampai ke “Indonesia Bahagia”, mesti mendapat mandat dari politik. Amal sehari-hari kebudayaan yang berbahagia itu mesti selaras dengan tindakan-tindakan harian politik yang selalu ngecap soal emas. Sebab, tidak ada kebudayaan yang berjalan sendiri di suatu bentang jalan, sementara politik berjalan di bentang jalan yang lain.

Dengan kata lain, seperti wajah politiknya, seperti itu paras kebudayaannya. Revolusioner politiknya, progresif pula kebudayaannya (politik kebudayaan Sukarno). Keamanan dan kestabilan pembangunan yang jadi ukuran politiknya, apolitis dan dekaden pula arus utama kebudayaannya (politik kebudayaan Jenderal Soeharto).

Sampai di sini, kita sudah bisa meraba dan memiliki gambaran yang pokok satu dekade politik kebudayaan di masa rezim pemerintahan Joko Widodo.

Politik Anti Ekologi

Membuka selebar-lebarnya arus modal investasi dan eksploitasi habis-habisan bumi Indonesia adalah arus utama politik Jokowi. Semuanya harus menuju ke sana. Jika undang-undang menjadi penghambat, undang-undangnya yang diubah. Maka, lahirlah Omnibus Law yang mendapatkan protes besar, tetapi melenggang dan menang dengan cukup mudah.

Omnibus Law atau UU Cipta Kerja adalah wajah politik rezim Jokowi. Membaca keseluruhan gaya, gestur, gimik, grafik, dan pola dari politik rezim ini, lihatlah bagaimana Omnibus disusun dan diundangkan. Kita bisa melihat bagaimana yudikatif dan legislatif menjadi makmum dari eksekutif lewat berbagai rapat di ruang remang-remang. 

Belum lagi, politik Jokowi dengan didukung oleh serdadu yang solid dari semua angkatan, termasuk kepolisian, eksekusi dari semua langgam aksi politiknya berjalan tanpa hambatan. Tidak ada satu pun kekuatan sosial yang sanggup menahan terjangan buldoser-buldoser rezim. Jika ada perlawanan, sama sekali tidak direken.

Kesuksesan istimewa dan gigantis menerbitkan Omnibus Law adalah standar politik Jokowi. Semua yang lain terasa mudah dan enteng. Yang agak seret di mulut agaknya usaha mengubah konstitusi soal batas kekuasaan. Tetapi, itu pun mudah diatasi dengan–meminjam judul roman Umar Kayam–“jalan menikung”.

Bunyi konstitusi bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara” betul-betul dimaksimalkan dan diekstraksi habis-habisan pelaksanaannya di lapangan.

Tetapi, Pasal 33 UUD 45 yang kerap disebut pasalnya Hatta itu, sebetulnya belum titik, yang justru bagian di belakang koma ini yang tidak direken. Kalimat di belakang koma itu, “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, tidak dianggap sama sekali.

Oleh karena itu, konflik sosial dengan warga menjadi tak terelakkan dari politik negara yang mengganti tanda baca (,) menjadi (.) dalam teks konstitusi kita. “Kemakmuran rakyat” memang tetap dipekikkan di mimbar pidato kenegaraan, tetapi sekadar citrawi, imitatif, jargon, artifisial. 

Nah, jargon “makan siang gratis” di ujung kekuasaan Jokowi dan menjadi jembatan keberlanjutan antar rezim, menjadi definisi paling presisi dari “kemakmuran rakyat” ala Jokowi.

Pada Daulat Hartawan, Kebudayaan adalah CSR

Kedaulatan yang didipraktikkan oleh rezim Jokowi bukanlah daulat rakyat, melainkan daulat hartawan. Frase “daulat hartawan” bukan dari saya, melainkan saya petik dari Mohammad Hatta di artikelnya yang terbit di DR No. 7 tahun 1931. Hatta di artikel berjudul “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia: tertoelis oentoek Daulat Ra’jat” itu menggambarkan dengan bagus sekali paras kapital kolonial VOC. Hatta dengan jelas dan padat menjelaskan apa dan siapa “VOC” itu.

Bagi Hatta, VOC adalah kaum saudagar yang datang dengan menenteng senjata dan berzirah agama yang kemudian menjadi militer. Dengan kata lain, VOC itu adalah tentara pedagang atawa saudagar berseragam.

Dalam “daulat hartawan”, tidak ada wacana “kemakmuran rakyat”. Daulat hartawan adalah model ekonomi kaum majikan. Dalam pikiran majikan, rakyat adalah hewan ternak. Cukup dikasih takaran pakan sekian dan sekian, masalah “kehidupan” beres. Cukup 2,5 sen sehari secara gratis, itu sudah. 

Dari kemuakan atas cara berpikir kapital VOC itu kemudian Hatta menandaskan di tahun 1933 bahwa tujuan dari perjuangan Indonesia Merdeka adalah “politik kemakmuran”. Hatta jelas tidak ngecap di DR No. 75 bertitel “Krisis-Politik ataukah Anti Kema’moeran Ra’jat” itu. Lalu, lahirlah Pasal 33 UUD 1945.

Sampai di sini, kebudayaan bisa apa di hadapan kapital model yang digembalakan pengasong daulat hartawan seperti ini. Kebudayaan yang hidup di bawah duli ekonomi majikan tak lebih dari kebudayaan CSR.

Dari kantong hartawan, dari kas berbagai perusahaan, dikumpulkan sedemikian rupa dalam satu wallet, diberi sebutan “pajak”, dan aha, jadilah dana abadi kebudayaan. 

Memang, tak pernah ada dalam sejarah kebudayaan kita ada dompet abadi 5 triliun yang disimpan dan diperuntukkan untuk pengembangan kebudayaan. Tetapi, dari sejumlah artikel tajam Hatta tentang daulat hartawan, ekonomi majikan, dan saudagar bersenjata (juga bersorban), sadarlah bahwa kebudayaan di bawah rezim Jokowi adalah kebudayaan CSR.

Di koran ini, di esai akhir tahun 2023, “Kebudayaan dalam Enam Bagian Proposal”, saya pernah menjelaskan secara sederhana bagaimana kebudayaan CSR ini beroperasi lewat kompetisi menyusun proposal.

Dana CSR ini seperti madu yang diperebutkan oleh para pemangku kebudayaan, oleh komunitas dan organisasi kebudayaan di seluruh Indonesia. Termasuk saya.

Kebudayaan pun lebih dekat dan berpeluh-peluk dengan atraksi pariwisata; bergembira sendiri dan menjauh dari problematika sehari-hari dengan rakyat yang berhadapan dengan buldoser negara yang dijaga oleh kokang kaum berseragam dan dilegitimasi oleh kaum bersorban. 

Inilah wajah politik kebudayaan Indonesia. Terlihat, begitu harmonis tujuan kebudayaan nasional dan tujuan politik negara. Begitu rukunnya “Indonesia Bahagia” dan “Indonesia Emas”. 

Barangkali, inilah rumusan yang genuine dari kaum majikan yang menggotong daulat hartawan ini: tak ada “Indonesia Bahagia” tanpa “Indonesia Emas”. Mencapai bahagia, kita semua harus menambang. Semuanya ke sana tanpa terkecuali. Yang menghambat rasakan akibatnya dibuldoser. Itu.****

Jawa Pos, 21 September 2024