Saat “prajurit terbaik dan terkhusus dan teristimewa” Angkatan Darat dilantik menjadi presiden RI, saya berada di Panarukan. Sebuah nama yang jadi frase akhir dari impian Jenderal Daendels tentang jalan raya yang mengalungi Jawa: Jalan Raya Pos.
Begini Pramoedya Ananta Toer menuliskannya dalam Jalan Raya Pos (2005: 127): Duapuluh delapan kilometer menyusuri pantai arah sedikit timurlaut, Jalan Raya Pos sampai ke terminal Panarukan. Kota ini menjadi akhir dari Jalan Daendels karena pada masanya menjadi pelabuhan terpenting di bagian tertimur pantai utara Pulau Jawa. Kali Sampean, semasa Daendels bernama Kali Panarukan, menghubungkan kota pelabuhan ini dengan pedalaman, antaranya dengan Kota Situbondo.”
Pram menarik garis Panarukan dengan Tuban sebagai dermaga titik berangkat ekspor kopi, gula, dan penumpukan hasil tani sepanjang Selat Bali.
Tuban adalah pusat pengisahan roman gigantis Pram berjudul Arus Balik. Suatu karya sastra bertema laut yang belum ada padanannya dalam sejarah sastra Indonesia.
Panarukan dalam Arus Balik itu, selain sebagai gelanggang perebutan iman berdarah antara Katolik dan Islam, juga titik berhenti pembangunan jalan raya yang ambisius yang kemudian kita mengenalnya dengan “Jalan Pantura”.
Panarukan sebagai sebuah bandar besar bisa menjadi titik berangkat kita melihat bagaimana laut menjadi air raya penghubung ekonomi.
Jenderal Daendels mengubahnya, memutar pintu Situbondo via Panarukan, mengarahkan mukanya ke darat. Panarukan menjadi mata rantai kalung ekonomi, menjadi jalan raya penghubung ekonomi kolonial.
Walau seorang jenderal dengan pemerintahan militer, Daendels tetaplah membawa semangat VOC, jenderal pedagang. Jalan yang ia bangun diperuntukkan pada dua hal sekaligus: ekonomi dan logistik perang.
Sejak saat itu, Jawa yang kecil pulaunya ini lebih fokus membangun darat sehabis-habisnya. Seluruh sumber daya yang dipunyai semuanya dipakai merayah darat. Seluruh inovasi pengetahuan dan teknologi yang diproduksi di semua perguruan tinggi elite seperti ditakdirkan untuk mengeksploitasi darat. Ledakan penduduk menjadi tak terkendali. Semua beban didaratkan. Di Jawa manusia bertumpuk-tumpuk.
Lalu, kita mengenal frase “memunggungi laut”. Frase kutukan. Semua menjadi asing dengan laut. Samudera menjadi sesuatu yang asing, gelap, menakutkan. Jika pun ada bisnis di sana, biasanya bisnis yang merugi, seperti yang dialami badan usaha negara Pelayaran Nasional.
Atau, jika ada “pengusaha muda” seperti Kaesang Pangarep berbisnis udang di Situbondo lewat bendera Panca Mitra Multipradana (PMMP), semata bukan karena bagian dari penghormatan laut sebagai bahari, tetapi ada peluang cuan di sana yang tak peduli bisnis bibir pantainya merusak ekologi atau tidak.
Jokowi pernah membangkitkan asa di awal kekuasaannya. Bahwa, kita stop dan tak lagi memunggungi laut. Kita mesti bersahabat lagi dengan laut. Frase “bahari” pun bergaung. Bahari adalah lanskap kebudayaan laut.
Tetapi, kita semua tertipu. Jokowi tak benar-benar memutar badan. Itu hanya gimiknya. Jokowi yang datang dari pedagang kayu adalah super Daendels di masa kini. Manusia pemuja darat, manusia dengan ambisi yang melampaui Jenderal Daendels dan Jenderal Harto sekaligus: melilit seluruh daratan Jawa dengan jalan berbayar.
Dari sini kita bisa memahami sepanjang Orde Baru hingga “Orde Lebih Baru” saat ini mengapa Angkatan Darat selamanya menjadi lebih (di)kuat(kan) ketimbang angkatan yang lain.
Saat kolonialisme datang dari laut, Sultan Trenggono di Kasultanan Demak, alih-alih membangun armada laut dan memusatkan anggaran negara untuk teknologi perkapalan, ia justru menghabiskan dana untuk pasukan kavaleri, pasukan kuda.
Menghadapi perang samudera dengan cara angkatan darat menjadi salah satu premis Arus Balik yang diiris dengan gelombang ironi oleh Pramoedya Ananta Toer sedemikian rupa.
Sultan Tranggono dan impian pasukan kudanya adalah khas Angkatan Darat. Merasa kuat, tetapi sesungguhnya kalah.
Kita semua seperti tokoh Wiranggaleng di Arus Balik, sosok lemah yang menaiki armada laut Jawa yang lemah. Pada akhirnya, menjadi olok-olok samudera.
Napas saya tertahan ketika menonton film dokumenter dari saluran YouTube Angkatan Laut perihal Komodor Yos Sudarso dan kapal tuanya yang tenggelam tanpa daya di hadapan siasat kolonial terakhir pada Operasi Trikora di Laut Arafuru, Maluku.
Yos Sudarso seperti Wiranggaleng. Yang dipunyai hanya jiwa patriotis, sementara perlengkapan samuderanya bobrok dan tak ubahnya besi usang. Apa daya semangat patriotis tanpa navigasi politik yang berpihak pada samudera. Karam tak bersisa dan parau berkata: “Kobarkan semangat pertempuran.”
Di Panarukan, dermaga yang mencium laut disusutkan. Semua energi dikembalikan ke darat.
Di baris terakhir Jalan Raya Pos, Pram menulis: “Saya tidak pernah berjalan di atas bumi Panarukan ……”.
Berbeda dengan Pram, saya berada di Panarukan, menyaksikan salah satu prajurit “terbaik” dan “problematis dalam sejarah” Angkatan Darat dan pecinta kuda linuwih dilantik menjadi presiden Republik Indonesia.
Di Panarukan, di gigir Pantai Sedulur yang tak jauh dari monumen “1000 Km”, saya bersama dengan dua puluhan anak muda dari Gerakan Situbondo Membaca. Meneroka sastra, bertemu diksi kuda, laut, dan sejarah yang kalah.
Tentu saja, si pemelihara dan penunggang kuda dari Hambalang itu tidak seromantik kuda yang diimajikan penyair kuda asal Sumba yang menjadi warga legendaris sastra Yogya, Umbu Landu Paranggi. Kuda putih, hitam, merah; kuda-kuda yang mempersiang hari, memperasing diri.
Ini tentang derap kuda perang kavaleri darat, kuda-kuda bentukan Sultan Tranggono di Arus Balik. Kuda-kuda penakluk daerah-daerah sekitarnya, bukan kuda-kuda penahan gelombang kolonialisme dari laut.
Tranggono adalah sang penunggang kuda yang ditangisi Ibu Suri:
“Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barangsiapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barangsiapa kehilangan laut dia kehilangan darat.”
Laut sudah lama asing. Sementara, darat yang sudah mengalami kerusakan yang tak terperi. Diperebutkan tiga kaum sekaligus: jenderal “perang”, pengusaha rakus, dan pengkhotbah agama yang memburu receh. Itu.****
+ Esai ini pertama kali dibikin secara lisan dan “tiktokan” dengan lebih kurang 15 peserta kemping literasi Gerakan Situbondo Membaca (GSM) di hari presiden dan wakil presiden baru dilantik di Senayan, Jakarta. Di atas perahu yang parkir miring di muara Pantai Sedulur, selama dua jam lebih, topik “Sastra, Laut, Situbondo”, sejam kemudian setelah berbicara, saya pindahkan menjadi esai ini. Dari lisan menjadi tu-lisan.
++ Esai ini dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos edisi Weekend, 2 November 2024.