Secara reguler lelaki kelahiran 8 Mei 1948 itu menitipkan bacaan apa pun yang diperolehnya dalam sekuensi waktu tertentu ke Warung Arsip yang berdiam di Sewon, Bantul. Kadang ia datang sendiri dari Alun-Alun Kidul, Keraton, dengan mengendarai honda bebek butut keluaran tahun 80-an akhir. Namun, terkadang pula, dan ini terjadi saat usianya sudah bertengger 70 tahun, ia datang dengan diantar anak dan cucunya.
“Bukan tulang dan persendian yang tak kuat, tapi otot-otot saya ini sakit semua. Khawatir enggak bisa mendorong motor yang terbiasa mogok di jalan,” katanya siang itu. Ia tampak sangat rapi. Berkopiah dan berbatik lengan panjang. Tampak, ia sangat kurus.
Pada siang yang sangat kering dan berangin di Sewonderland alias mBantul Projo Tamansari itu, ia membawa dua amplop coklat berisi kliping isu terbaru di seputar dunia Keraton, beberapa judul buku tipis (baca: brosur) khasanah spiritul Jawa, seperti Teka-Teki Walisongo dan 7 kesalahan Syekh Siti Jenar, Bangkitnya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati, Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya, dan Sekilas Riwayat Hidup Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Apa yang dilakukan lelaki yang setelah pensiun dari Departemen Agama DIY menjadi pemandu wisata Keraton ini sudah puluhan kali.
Mengumpulkan dan menyumbang buku, baginya, adalah melengkapi yang tak sempurna. Ia sadar betul, hobinya mengumpulkan bacaan dan mengliping koran secara manual, tak bisa diwariskan. Terbukti, tak ada satu pun anaknya yang tertarik dengan apa yang dikumpulkannya hingga ia bertemu dengan Indonesia Buku saat komunitas ini masih berdiam dalam benteng Keraton.
Perjumpaan itu membuat pecinta budaya Jawa hingga ke sumsum terdalam ini makin tekun mengerjakan hobinya, menyenangi buku dan gembira mendokumentasikan apa pun soal Jawa dan Keraton.
“Buku-buku yang saya miliki adalah kesenangan saya. Jika ada buku yang tak saya suka, saya tetap merawatnya jika ada yang memberi,” tuturnya.
Ia mengaku, banyak buku yang dipunyainya ia bagi kepada banyak tangan. Kultur berbagi itu ia lakukan sebagai laku untuk terus mengikat silaturahmi. Sekaligus dalam berbagi itu ia menahbiskan diri sebagai dokumentator hal-ihwal yang disenangi dan apa pun yang terkait dengan sukma dan tata kepercayaannya.
“Saya termasuk arsiparis. Bukti pembayaran air minum PDAM saya kumpulkan dan jilid. Kumpulan buletin Jumat belasan tahun saya jilid juga. Termasuk bukti pengiriman pos,” kisahnya dengan bersemangat.
Semangatnya yang tak pernah padam itu bisa dilacak dari pandangan dasarnya bahwa setiap orang mestilah punya monumen. Tak mesti monumen itu hal-hal yang besar. Budaya mengumpulkan hal yang terkait dan dekat dengan kehidupan pribadi bisa jadi adalah sebuah monumen, sebuah jejak. Termasuk soal surat pacaran. “Simpanlah itu (surat cinta). Jika cekcok di masa tua, perlihatkanlah surat itu. Nanti ketahuan siapa yang dahulu berhasrat sekali. Nanti senyum-senyum lagi.”
Nrimo ing pandum, sebuah kompas nilai humanisasi, betul-betul menjadi salah satu pegangannya mengarungi sisa hayat yang dianugerahkan Gusti Allah. Dengan kompas itu, kita yang tak punya apa-apa tetap senang. Tak pernah ada yang kehilangan. Sebab, memang enggak punya apa-apa. Kaya tapi nrimo, pasti hidupnya tenang. Tak tunduk pada harta. Berbagi.
Dalam nrimo atau syukur itu kekayaan justru tak habis-habis.
“Apa saja yang didapatkan, syukurilah. Termasuk topo rame, prihatin di tengah orang banyak,” pesannya.
Nilai Jawa yang ia pegang teguh adalah ajaran “sedulur papat, lima pancar”. Ia memahami “pancar” sebagai diri dengan mengikuti empat siklus dalam laku hidup. Di timur kita lahir dan tumbuh. Saat usia belajar, kita hadapkan wajah ke lor, ke utara. Tuntutlah ilmu setinggi Merapi. Lalu, ilmu itu biasanya digunakan meraih kesenangan yang disimbolkan Laut Selatan (harta, takhta, wanita). Pada akhirnya, setiap manusia menghadapkan wajahnya ke barat, ke arah di mana srengenge melenyap.
Siklus menuju rembang itulah yang ditapakinya saat ini. Ia dengan sekuat tenaga terus mengumpulkan bacaan-bacaan spiritual Jawa yang disukainya. Ia juga tanpa henti terus menggunting dan menempelkan kliping hal-ihwal soal Keraton dan semesta pembicaraan sosial dan politik di seputarnya.
Namanya Mbah Slamet Suwanto. Hanya ia satu-satunya di jagad ini yang memanggil saya dengan sapaan Mas Dahlan. Hampir semua koleksi Mbah Slamet, baik buku maupun dokumentasi, sudah ia limpahkan ke gudang Warung Arsip untuk disimpan dan dibagi.
“Beban saya ringan sekarang. Otot-otot ini saja yang sakit,” pungkasnya. Ia pun bergegas pulang untuk menyongsong suara dari dalam mobil putih yang terus-menerus berteriak di gerbang Bale Black Box/Radio Buku, “Eyang, ayo, kita pulang!”
Panjang umur, ya, Mbah.
#TemankuOrangBukuKeren