“Saat ditanya Ki Mangoensarkoro pada September 1951 di Taman Siswa, untuk apa masuk ASRI, saya jawab: pertama ingin jadi pelukis, kedua ingin menjembatani antara seni dan masyarakat” ~ Soenarto Pr. (2003)
Di sini aku temukan kau
Di sini aku temukan daku
Di sini aku temukan hati
Terasa tiada sendiri
Potongan himne Sanggarbambu yang liriknya ditulis perupa Kirjomulyo dan diaransemen komposer F.X. Sutopo pada Mei 1962 itu dilantunkan di nisan satu dari sembilan pendiri Sanggarbambu Soenarto Pr. Di langit kompleks makam seniman Giri Sapto Imogiri yang bersih pada 25 Juli itu, suara ke-14 “keluarga besar” Sanggarbambu itu terasa berat. Mereka sedang melepas salah satu orang paling penting yang menjaga Sanggarbambu sejak tahun 1959 hingga tahun ke-59 pada 2018.
Soenarto bin Moe’id Prawirohardjono atau Soenarto Pr. yang tidur abadi di teras pertama Giri Sapto adalah generasi pertama sanggar yang tak hanya dihuni oleh perupa (lukis dan patung), namun juga seni-seni yang lain seperti sastra dan musik. Soenarto Pr. adalah sosok yang meletakkan filosofi Sanggarbambu sebagai sanggar kehidupan yang tak memencilkan diri dari kehidupan seni-seni yang lain. Bahkan, dari mereka yang sehari-harinya adalah kenek truk.
Baca paragraf pertama tulisan Soenarto Pr. di buku Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu (2003): “Di sanggarbambu dikembangkan hidup berkelompok dengan nyaman karena adanya kebebasan dan kemerdekaan sepenuhnya. Sehari-harinya terlihat ada yang tengah melukis, baik siang maupun malam. Terlihat pula ada yang tengah membaca atau belajar, ada yang tiduran beristirahat maupun yang tidur pulas, yang duduk berdua atau bertiga omong-omong. Dari omong-omong ini bisa berkembang menjadi diskusi, dan kemudian seorang demi seorang bergabung mendengarkan atau melibatkan diri. Mungkin ada yang bernyanyi perlahan sambil memetik gitar, ad ayang main karambol, ada yang beraktivitas lain di tempat yang disukai: tinggal pilih di sudut mana, di beranda atau di halaman yang dirasakan nyaman dan tidak mengganggu yang lain”.
Soenarto Pr selalu bilang, berkesenian itu mestilah tanpa pamrih. Tentu saja Soenarto tak menolak proyek. Sebagai pematung, sidik tangannya ada di beberapa patung para pahlawan nasional, dari monumen Gatot Soebroto (berkuda), Ahmad Yani, S. Parman, Latuharhary, Soediro, Mohammad Yamin, Maramis, Achmad Soebardjo, Agus Salim, Chaerul Saleh, Adam Malik, Hatta, Bung Tomo, Ki Hadjar Dewantara, hingga Wahid Hasyim.
Bukan proyek itu yang jadi poinnya, melainkan kesetiaan yang dilandasi filosofi hidup yang kuat. Soenarto tampaknya bukan saja menghafal dengan baik “Enam Sa” yang disodorkan sosok yang disebut Marcel Bonef Prince et Philosophe Javanais, Ki Ageng Suryomentaram; namun juga mengejawantahkannya dalam laku berkesenian di Sanggarbambu. “Enam Sa” itu adalah sakbutuhe (sebutuhnya), sakperlune (seperlunya), sakcukupe (secukupnya), sakbenere (sebenarnya), sakmestine (semestinya), dan sakkepenake (senyamannya).
Dengan “enam sa” yang menjadi ruh dan sekaligus sabuk berkesenian itulah yang membikin Sanggarbambu serupa namanya, bambu. Bambu itu tumbuh berkelompok, saling mengait dan memperkuat satu dengan lainnya. Ia tak mudah ditumbangkan oleh angin, sekencang apa pun itu. Tragedi politik 1965 bukan saja tsunami politik, tapi juga bencana mematikan dalam berkesenian. Namun, Soenarto Pr. dan Sanggarbambu bisa melewatinya dengan bugar.
Di mana kekuatannya? Lihat logo Sanggarbambu. Lima kuda yang meringkik. Kuda adalah simbol tenaga yang dalam dunia permesinan dan diabadikan sebagai satuan daya: Horsepower (HP), Pferderstaerke (PS), Paardenkracht (PK). Dalam pelayaran, para kelasi akrab dengan istilah “PK” untuk menyebut daya laju kapal.
Jika perikatan dan medan persahabatan terlukis pada metafora bambu, tenaga kreatif Sanggarbambu termanifestasikan dalam logo kuda yang sedang meringkik. Merujuk pada esai Nunung Nurdjanti, “Selayang Pandang Sanggarbambu” (2017), logo kuda bermuasal dari order kritikus seni Kusnad pada 1962. Order itu ditangani lima orang, yakni Soenarto pr., Mulyadi W., Syawil, Danarto, dan Handogo Soekarno. Sketsa kuda berjumlah lima itu mereka kukuhkan sebagai logo yang sekaligus mengukuhkan persahabatan kelimanya.
Pada kuda, ada etos, spirit. Pada bambu, ada kemampuan adaptasi.
Soenarto Pr. dan Sanggarbambu, walaupun dihisap usia dan waktu tak pernah kenal lelah berkreasi. Di awal-awal, Soenarto Pr. mengorkestrasi tenaga kuda Sanggarbambu untuk berpameran keliling dari kabupaten ke kabupaten. Daerah-daerah asat dari percakapan seni rupa seperti Semarang, Pekalongan, Tegal, Balapulang, Slawi, Purwokerto, Ngawi, Madiun, hingga Madura dijajal Sanggarbambu.
Dengan finansial sakcukupe, pameran keliling lebih kurang 40 kabupaten itu menunjukkan bukti persahabatan/jejaring ala bambu dan kekuatan kuda Sanggarbambu itu menginsyafkan dunia seni rupa tentang daya yang hilang dalam seni. Ketika seni makin memusat di kota-kota tertentu, Sanggarbambu menyebarkannya hingga titik terjauh yang bisa disinggahi.
Soenarto Pr. menginsyafi berkesenian itu adalah perkalian dari segi-segi kehidupan yang nyata. Bagi perupa kelahiran 20 November 1931 ini, kekurangan finansial bukan alasan untuk berhenti bergerak. Saat ditanya kritikus seni Soedarmadji pada 1963 dari mana Soenarto dapat biaya menyelenggarakan pameran keliling, sang seniman hanya mesemeleh, mesem semeleh, senyum ikhlas.
Kita tahu, pameran keliling yang mirip dengan dunia seni tobong itu, tak hanya membawa seni rupa, tapi juga teater, musik, dan sastra. Kekuatannya membangun jaringan, bukan hanya antarseniman, tapi juga birokrasi dan masyarakat biasa membikin Sanggarbambu awet. Di situ, finansial menjadi pertaruhan.
Tetapi, Soenarto berpandangan lain. Betul, bajet itu penting, tapi bukan penentu. Bajet itu bisa diusahakan asalkan ada keinginan kuat untuk melakukan sesuatu disertai ide yang kukuh. Perkalian yang kerap rumit itu, di Sanggarbambu, kerap berakhir dengan “keajaiban”.
Saat Soenarto Pr. beserta anggota Sanggabambu ingin sekali menonton pementasan drama di gedung PPBI Yogyakarta pada Agustus 1962, mereka tertahan di pagar. Maklum, tak punya tiket. Salah satu yang tertahan di pintu itu adalah anak muda bertenaga kuda: W.S. Rendra. Kepada Rendra, Soenarto Pr. berkata, lebih tepatnya menggeruti, “Bikin sendiri saja dan pentaskan sekalian saja yang gede!”
Pembaca, Anda tahu, itulah awal kelahiran salah satu pementasan drama Rendra yang legendaris, Oedipus Rex. Lahir dari gerutuan, jadilah, yang dalam bahasa Soenarto: “Yak, sak-kepenake, kepenake gawe dewe, sakketemune Rendra”.
Demikianlah, Soenarto Pr. beserta sanga wali dalam Sanggarbambu mengondisikan lembaga mereka terbuka dengan ekosistem berkarya yang terjaga. Umumnya, nama-nama yang kemudian kita kenal “beken” di gelanggang seninya masing-masing, bergabung ke Sanggarbambu pada usia dengan kekuatan kuda. Misalnya, tulis Hadjid Hamzah dalam “Sanggarbambu Lintas Pintas” (2003), Sapardi Djoko Damono bergabung di usia 17 tahun, Danarto 19 tahun, Putu Wijaya 15 tahun, Bakdi Sumanto 18 tahun, Darmanto Jatman 19 tahun. Bahkan, Linus Suryadi A.G. dan Emha Ainun Nadjib yang menjadi “penerus” Sanggarbambu sudah bersinggungan sejak usia masing-masing 8 dan 6 tahun.
Demi kesenian, Soenarto Pr., Soenarto selalu menjaga persahabatan dengan seniman-seniman muda. Di pameran besar seni rupa Sanggarbambu bertajuk “Sanggarbambu: Gerakan Kesenian di Tepian Arus” (Galeri Katamsi, ISI Yogyakarta, 30 November-15 Desember 2017), Soenarto Pr. masih mengikutkan karyanya. Walau karya lama, “Potret Diri” (1956), seperti itu cara Soenarto menyambung energi dengan talenta muda di Sanggarbambu.
Transformasi energi itulah yang barangkali membikin kita geleng kepala membaca salah satu “pasal aneh” dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Sanggarbambu. Pasal itu berbunyi: “Sanggarbambu tidak akan dibubarkan dan dipertahankan hingga anggota terakhir”.
Betul, Soenarto Pr. sudah berangkat di usia Sanggabambu mengarungi tahun ke-59. Ketiadaan Soenarto tak menjungkatkan Sanggarbambu selagi masih ada anggota terakhir yang menghidupkan api seni di gelanggang kebudayaan Indonesia.
* Dimuat pertama kali di Harian Jawa Pos, Minggu, 29 Juli 2018