Kasmaran di Panataran

Jika ingin meneroka dan sekaligus melihat bagaimana seorang akademia mengetahui sepenuh hati ilmu pengetahuan—terutama khasanah klasik Nusantara—perlu menyebut nama sosok ini.

Perempuan yang lahir pada 1956 ini bukan orang Indonesia. Lebih-lebih, orang Jawa. Punya setetes darah pun tidak. Namun, kecintaannya kepada Jawa, kepada kesusastraan dan seni rupa klasik Jawa, tidak bisa disepelekan.

Namanya Lydia Kieven. Ia pengajar Studi Asia Tenggara di Universitas Frankfurt dan Universitas Bonn, Jerman. Studi doktoralnya diselesaikan di University of Sydney, Australia, yang berjarak ribuan kilometer dengan Jawa Timur. Lebih dari 20 tahun Lydia ini memburu figur manusia bertopi yang berumah di relief-relief candi di Jawa Timur. Budaya Panji yang satu dekade belakangan marak menjadi perbincangan di meja kebudayaan kita terkini salah satunya boleh dibilang karena perannya.

Lydia melakukan apa yang secara sederhana disebut ber-“darmawisata”. Istilah ini mulai jarang sekali dipakai manusia terpelajar karena “study tour” lebih keren. Lihat, “darma” dan “wisata”. Lydia melakukan wisata, sekaligus berdarma. Tidak tanggung-tanggung, dua dekade lamanya.

Hasil darma dan wisata yang begitu ekstensif dan boleh dibilang menyerahkan jiwa akademianya untuk sebuah topik pengetahuan sastra dan seni, Lydia menghasilkan buku Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs. Buku ini telah dialihbahasakan menjadi Menelusuri Panji di Candi-Candi: Relief Figur Bertopi di Candi-Candi Zaman Majapahit. Mudah ditebak, buku bertarikh 2017 ini memiliki posisi penting.

Dalam buku setebal hampir 500-an halaman ini, Lydia memburu figur-figur bertopi di 18 candi utama di Jawa; 16 di Jawa Timur dan dua sisanya terletak di Jawa Tengah.

Candi-candi tersebut adalah Candi Panataran, Candi Jago, Candi Jawi, Candi Jabung, Candi Surowono, Candi Gajah Mungkur, Candi Wayang, Candi tegowangi, Candi Rimbi, Candi Menak Jinggo, Candi Mirigambar, Candi Gambar Wetan, Candi Selokelir, Candi Kendalisodo, Candi Yudha, dan Candi Selotumpuk. Sisanya, Candi Sukuh dan Candi Planggatan di Lawu, Jawa Tengah.

Dalam penelitiannya yang panjang itu, Lydia memakai pendekatan ikonografi Erwin Panofsky, sejarawan seni asal Jerman, untuk membaca fungsi dan makna figur bertopi yang menghiasi dinding-dinding relief. Inti pandangan ikonografis Panofsky adalah karya seni sebagai bagian dari prinsip dan sikap suatu bangsa, era, kelas, keyakinan religius, dan politik.

Berangkat dari pandangan Panofsky itu, Lydia berkesimpulan bahwa figur bertopi itu bisa datang dari rakyat jelata, pelayan, hingga pangeran dan dewa-dewi.

Kesimpulan itu disandarkan dari kajian-kajian sebelumnya yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Seperti konduktor baru yang lebih segar dan muda, Lydia mengorkestrasi teks-teks pendahulunya menjadi sebuah harmoni agung dan kekinian. Lydia tampil memukau memimpin musyawarah buku di hadapan para raksasa, seperti J. Knebel (1908), H. Hoepermans (1913), P.J. Perquin (1915), F.D.K. Bosch (1920), C.C. Berg (1928), N.J. Krom (1931), Th. van Erp (1931), H.G.Q. Wales (1951), Claire Holt (1967).

Dari situ, dari sokongan riset-riset sebelumnya itu, Lydia dengan bahasa yang plastis, menarasikan kisah cinta bangsawan-bangsawan abad 15 di masa Majapahit akhir. Terutama, dengan mengendarai simbolisme dalam Cerita Panji. Artinya, Lydia meminjam secara utuh sastra sebagai narasi tafsir atas karya seni rupa (pahatan relief). Begitu juga sebaliknya, sastra menjadi rujukan utama dalam penciptaan seni tinggi dan rumit di atas batu.

Cerita Panji populer di masa Majapahit. Hadir dalam banyak variasi. Versi tertulis dalam bentuk kakawin maupun kidung. Cerita besar Panji adalah petualangan cinta Pangeran Panji (Raden Sekartaji) mencari tunangannya, Putri Candrakirana (Raden Galuh). Cerita asmara dan perselingkuhan, perang, musik, mistik menyertai perjalanan panjang itu.

Lydia tidak sedang menceritakan ulang pertualangan cinta sang panji. Seperti dijelaskan di awal, Lydia sedang menguraikan soal figur manusia bertopi yang ditengarainya sebagai tokoh Panji.

Topi dalam visual di candi memiliki beragam sebutan. Antara lain, peci Panji (Panji petje, hoofdtooi); tekes atau wig yang terbuat dari sabut kelapa, wol, atau serat kulit pinang (diperkenalkan Stutterheim). Tekes ini kerap dimaknai sebagai ikat kepala atau blangkon. Ikat kepala bermakna “mau mengikat sendiri” yang bisa diartikan sebagai kehendak kuat dan siap berumah tangga.

Lydia tidak memakai peci atau tekes dan bertahan dengan kata topi saja karena beragamnya ikon yang ia temukan dari berbagai strata dan kelas pemakainya.

Yang menarik adalah figur bertopi di Candi Panataran oleh Lydia mendapatkan porsi ulasan yang lebih banyak ketimbang candi yang lainnya. Bayangkan, Panataran mendapatkan ruang 100-an halaman. Bandingkan dengan Candi Surowono yang hanya 31 halaman. Artinya, Panataran memiliki posisi istimewa.

Panataran yang terletak lebih kurang 12 kilometer di timur laut Kota Blitar ini berhadapan lebih kurang 15 kilometer dari puncak Kelud dan 80 kilometer dari gunung tertinggi di Jawa, Semeru.

Selain memandang Panataran merupakan candi negara Majapahit (tiga kali disebut dalam kitab kronik karya Mpu Prapanca, Desawarnana), saya menduga Lydia Kieven menjadikan Panataran sebagai monumen cinta besar dari kisah asmara anak-anak muda zaman abad 15.

Cerita tentang krisis diri sang pemuda dan praktik kesuburan sudah disajikan sejak kita menapaki teras pendopo Panataran. Atas nama Tantra, aliran khusus dalam agama resmi Majapahit, sebelum memasuki dunia esoterisme, sang manusia, dalam hal ini Panji dan Candrakirana, melewati dan melepaskan energi erotismenya.

Dalam ajaran Tantra, erotisisme (seks) dan esoterisme (spiritual) tidak dipisahkan maupun dipertentangkan, melainkan dilalui sebagai sebuah jalan agung penyembahan. Dari erotisme ke esoterisme mestilah melalui jalan pertapaan (samadi) yang sukar dan petirtaan (penyucian) yang berat.

Pengadeganan erotisme itu bahkan divisualkan secara terang-terangan. Panataran memberi sinyal bahwa kasmaran anak muda bukan larangan, melainkan bagian dari proses perjalanan mencari tirta, mencari cinta agung.

Semua kisah pergumulan tokoh-tokoh Panji yang up and down menggapai jalan suci yang tervisualisasikan dalam panel candi (seni rupa) berangkat dari, sekali lagi, narasi kakawin atau kidung (sastra). Kitab-kitab yang dirujuk adalah kisah Ramayana dan Mahabharata yang terbagi-bagi dalam banyak kitab, antara lain Tantu Panggelaran, Adiparwa, Kresnayana, Arjunawiwaha, Desawarnana, Kunjarakarna, Anglingdharma, maupun Jnanasiddhanta.

Demikianlah, praktik keagamaan (Tantra) dibangun dalam sebuah tradisi sastra yang kuat dan senirupa sekaligus. Mereka yang tidak memiliki kapasitas dan akses ke dalam dunia bahasa (teks sastra), bisa menikmati keindahan lewat jalan visual (seni rupa).

Lewat Lydia dan kitab yang dipersembahkannya kepada manusia Indonesia, kita bisa becermin tentang pengetahuan arkais Nusantara yang berkabut. Usaha semacam ini mestinya menyugesti kalangan arkeolog, filolog, sejarawan, sastrawan, maupun perupa untuk terus tumbuh dalam kecintaan kepada pengetahuan para leluhur.

Siapa pun yang meminati studi Indonesia masa klasik bisa mempertimbangkan kehadiran Lydia Kieven ini yang telah mempersembahkan catatan “darmawisata” secara detail, intimatif, dan naratif ini. Membaca “jurnal besar” Lydia, kita langsung mendapatkan tiga sekaligus pandangan: agama/politik, eklektisisme sastra, dan puncak dari seni rupa pada milenium kedua Nusantara.

* Pertama kali dipublikasikan di laman Ruang Merah, 16 Mei 2021