Gorong-Gorong Berita Bohong

Sepanjang Desember 2016 hingga Februari 2017, berita hoax atau berita bohong menjadi perbincangan yang kompleks dan berlapis. Bukan saja muncul gerakan untuk melawan hoax itu di berbagai kota, tapi juga ada usaha memasukannya dalam lema kamus resmi. Bahkan, sudah ada media yang “mengindonesiakan” istilah ini menjadi “hoaks”.

Tak berhenti di situ saja, hoax atau hoaks juga masuk ke ranah lebih struktural dalam internal produsen informasi. Dewan Pers meresponsnya dengan melakukan “verifikasi” media yang kredibel. Verifikasi media itu memang bukan hanya soal hoaks, namun juga merembet pada soal ekonomi media tersebut, terutama finansial yang menjamin kesejahteraan para jurnalisnya. Namun, isu hoaks inilah yang menjadi trigger, menjadi picu pelatuknya.

Berita bohong sejatinya bukan soal asing yang ujug-ujug hadir dalam pranata berkomunikasi kita. Ia ada dalam kerja komunikasi harian. Kebohongan dan gosip menjadi begitu lumrah, tapi sekaligus tragedi. Lumrah jika berita bohong atau kasak-kusuk ini berlangsung dalam lapis sosial yang relatif “damai”.

Namun, ia menjadi tragedi ketika kehidupan sosial dalam guncangan hebat. Daya rusaknya menjadi-jadi saat para pemegang gada kekuasaan terlibat—dan tentu saja aparatus keamanan nasionalnya. Berita bohong atau disinformasi yang sistemik adalah bahan bakar penghancur semua anyaman harmoni untuk memenangkan kepentingan tertentu.

Jika menyadap informasi bertujuan merebut “kebenaran” yang disembunyikan, sebagaimana dilakukan skriptoraf di lembaga-lembaga sandi negara, maka memproduksi berita bohong adalah mengacaukan informasi dan memotong kesempatan mendekati “kebenaran”.

Dan, ini bukan hanya domain warga negara. Dua bulan terakhir ini kita digiring oleh opini yang dirancang sedemikian rupa bahwa produsen berita bohong itu semata website-website berita “Islami” yang beberapa kali diberi peringatan keras dan bahkan diblokir pemerintah.

Menyederhanakan hoaks adalah kalangan tertentu yang tak memegang kekuasaan membuat mata kita blur atas rupa sejati hoaks itu sendiri. Hoaks itu virus (dis)informasi dan bisa memapar siapa saja; bahkan kepada mereka yang sudah memamah kerja jurnalistik paling dasar yang sudah diajarkan sejak zaman megalitikum itu.

Virus hoaks ini tak pernah pilih-pilih. Ia bisa menjangkiti media-media yang dipenuhi aura keagungan seperti Kompas dan kakak tuanya Intisari. Kedua media mapan dan legendaris itu di halaman web mereka pada 9 Maret 2017 mengunggah berita palsu tentang seorang putri Arab di Bali sehabis spa berpose mengenakan gaun penari Bali yang terbuka di bagian atas.

Berita-berita semacam itu tak pelak menjadi remah-remah instan yang dikunyah ratusan ribu hamster yang terus hidup tanpa jeda di media sosial.

Kita tak bisa menolerir atau meremehkan hal itu. Apalagi itu terjadi di media-media yang biasanya memberlakukan kontrol konten informasi berlapis-lapis sebelum dilepas ke masyarakat. Mekanisme hak jawab dan permohonan maaf jika informasi yang disebar adalah palsu umumnya menjadi jalan keluar. Dalih yang kerap dipakai adalah hal itu di luar kesengajaan. Meluncurkan informasi yang masih diragukan kebenarannya itu umumnya dianggap bagian dari khilaf atau teledor.

Di luar konteks media itu, produsen berita bohong sesungguhnya berkeliaran di mana-mana. Sepekan sebelum terang-benderang anggota Kopassus yang melakukan penyerbuan di LP Cebongan Sleman, tersebar informasi yang dilakukan sedemikian rupa lewat narasi kronologis yang “meyakinkan” lewat blog. Upaya itu bertujuan melakukan disinformasi atas sas-sus kepolisian yang mulai mengarahkan penyelidikannya kepada institusi baret merah itu.

Belum lagi pasar jual-beli informasi untuk kepentingan yang sangat sempit. Mulai dari penyesatan informasi di kertas-kertas Amdal untuk meloloskan sebuah industri manufaktur beroperasi mengeksploitasi lingkungan hingga pertarungan narasi sebatang rokok yang dibekingi industri raksasa kesehatan dan tembakau. Paling seru tentu saja saat musim politik datang yang sialnya nyaris berlangsung tiap tahun.

Hidup kita pun, apa boleh bikin, berada dalam gorong-gorong hoaks yang beradu balap di trek propaganda isu yang memampatkan pikiran.

Rasa-rasanya kampanye media yang sehat dan individu yang melek literasi makin jauh tertinggal di belakang. Apalagi, jika ternyata pusat utama sampah informasi gorong-gorong yang basah itu, justru “dipelihara” di pos-pos kekuasaan. Kelar!

 

Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos, 13 Maret 2017