Ambo dan Sepakbola (1)

“Bukannya Gonjales itu di Malang?” sergapnya ketika saya menunjuk ujung tombak nomor sepuluh PSS Sleman itu adalah Cristian “El Loco” Gonzales. Rupanya, informasi terakhir yang masuk di alam pikirnya berhenti pada turnamen Piala Presiden. Sebab, di kampungnya, di Pantai Barat, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah, siaran pertandingan Liga 1 dan 2 di televisi diacak. Kadang dapat siaran, tapi lebih banyak tidak.

Bukan karena PSS Sleman yang bertanding melawan Persegres Gresik di ajang Liga 2 di Maguwoharjo International Studium setelah jeda libur Asian Games, 4 September, itu yang membikin dunianya menjadi begitu berbeda sejak ia tertarik dengan sepakbola pada awal tahun 1960-an.

Bukan.

Tarikh sore 4 September menjadi tonggak penting baginya memasuki stadion sepakbola dan sekaligus memutus rantai kutukan nyaris menjadi penonton sepakbola seumur hidup di depan layar televisi.

Di layar televisi itulah hampir setengah abad ia dibakar penasaran soal bola dan posisi lampu stadion.

“Ternyata, lampu stadion itu tinggi betul. Saya heran betul nontonG di tivi itu, di mana ditaruh itu lampu sehingga tak kena bola kalau ditendang keras-keras,” ingatnya sambil sesekali wajahnya menengadah di ujung atap Stadion Maguwoharjo. Posisi PSS sedang unggul 4-0 di menit ke 80-an saat lampu stadion menyoroti seisi lapangan.

Ia adalah pencinta dan pemain sepakbola dari perkampungan pesisir. Saat usia balig, ia sudah menyandang ban kapten kesebelasan untuk Persiba di Distrik Bambalamotu yang kini masuk dalam kawasan Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Persiba atau Persatuan Sepakbola Bambalamotu, cerita Ambo Dahlan, adalah satu dari tiga distrik yang disegani di tahun 60-an dalam kekuatan persepakbolaan kampungnya. Selain Bambalamotu, ada Randomayang dan Pasangkayu.

Pertandingan antarkampung jamak dilakukan seusai Hari Lebaran. Di hari itu, masyarakat di pesisir yang dihuni campuran suku Kaili, Bugis, dan Mandar disuguhi tontonan olahraga paling digemari, yakni sepakbola. Bambalamotu, Randomayang, Pasangkayu, Kasoloang, dan Bambaira adalah the big five yang disegani. Ada juga Tikke, Lumu, dan Pangkajoang.

Ia ingat betul, saat turnamen dipusatkan di Pasangkayu yang jauhnya sekira 25 kilometer dari Bambalamotu, rombongan besar mesti menempuh jarak tempuh semalaman naik perahu sandeq, jenis perahu tradisional nelayan Mandar.

Maklum, laut satu-satunya jalur termudah yang bisa dilalui. Jika berangin, layar dibentangkan. Jika laut diam, apa boleh bikin, delapan pendayung menjalankan tugasnya. Pemain sepakbola, iya, atlet dayung juga boleh dicoba.

Di bawah asuhan Sahrir, ia tertempa sebagai pemain kampung bersemangat. Sahrir memiliki pengalaman sebagai bekas pemain Persido Donggala yang disegani di seantero Sulawesi Tengah. Bek tengah yang memiliki darah biru Raja Mamuju dari Pua Qera yang tinggal di Bambalamotu itu ditakdirkan sebagai putra daerah yang mengabdi untuk kejayaan sepakbola kampungnya.

Di rumah Sahrir inilah Ambo Dahlan kerap menginap. Maklum, rumah si pelatih ini sekaligus menjadi “asrama” pemain jika dibutuhkan berkumpul.

Selain Ambo Dahlan menjadi gelandang pengatur serangan, ada juga sekondannya yang beroperasi di lini tengah, yakni Andi Ando. Nama ini terlahir dari keluarga yang disegani, salah satu pencetus awal berdirinya Kabupaten Pasangkayu.

Keluarga patriarkh ini terkenal sebagai tuan tanah dengan berlimpah ruah perkebunan kelapa. Rumah Andi Pellang, ayahanda Andi Ando, adalah rumah bertembok pertama di Bambalamotu.

Jika Andi Ando berposisi sebagai pembagi bola, remaja 16 tahun Abdul Razak dipercaya sebagai kanan dalam, sementara Irham “La Songga” menempati posisi kiri dalam. Kadri yang berbadan kekar tampil sebagai bek tengah yang tak mudah dilewati lawan.

Dari Sahrir, pemuda-pemuda Bambalamotu ini tahu bagaimana cara mundur, menyundul, mengoper, dan mengatur irama permainan.

Keberangkatan ke Pasangkayu yang berada di titik selatan di garis pantai barat Sulawesi membawa satu keyakinan, yakni menang.

Sayang sekali, Persiba Bambalamotu dihempaskan Pasangkayu di semifinal dengan skor 1-0. Distrik Pasangkayu pun melaju ke final dan juara. Dalam perebutan posisi tiga, Randomayang menekuk Bambalamotu lagi-lagi dengan skor 1-0.

“Pasangkayu punya banyak pemain tua yang berpengalaman, seperti Gonjales itu. Kami kalah mental. Sementara itu, Randomayang diisi pemain-pemain sewaan dari Tawaili,” kata Ambo Dahlan berdalih ihwal kekalahan itu. Tawaili salah satu desa di sisi utara Kota Palu dan menjadi salah satu pabrik pemain bola untuk kebutuhan lokal Sulawesi Tengah.

Dengan semangat yang kalah, tim yang dipimpin Kepala Distrik Makmur ini mendayung kembali semalam suntuk untuk sampai ke Bambalamotu.

Selain bermain bola, Ambo Dahlan memburuh kepada saudagar-saudagar kelapa. Saat ada pertandingan persahabatan antarkampung, biasanya teman-temannya turut membantu menyelesaikan pekerjaannya agar segera menuju lapangan latih.

Kelompok inilah yang selalu menjaga lapangan sepakbola mereka tetap bersih dengan rumput tumbuh baik. Mereka meronda setiap malam dari sapi-sapi yang menjadikan lapangan sepakbola sebagai kasur hijau mereka yang hangat dengan meninggalkan “ranjau darat” di mana-mana.

Jika lawan tanding dalam radius dekat, misalnya, melawan Randomayang yang jauhnya lebih kurang 9 kilometer ke arah utara atau bawah, Ambo Dahlan cs menggunakan moda transportasi gerobak dengan sapi-sapi yang terpilih; kuat dan cepat.

Jalan-jalan batu dan berlubang saling gesek dengan roda gerobak dari besi di antara deretan nyiur yang tumbuh sepanjang pantai. Pada pertandingan melawan Randomayang inilah kecelakaan karena sepakbola disaksikan Ambo Dahlan.

Saat Bambalamotu mendapatkan tendangan pojok, bola datang melambung. Andi Ando melompat tinggi hendak menyundul. Sayang, penjaga gawang Randomayang yang didatangkan dari Sirenja, Arsadi, berlari menyongsong dan menabrak Andi Ando. Si gelandang pembagi bola ini jatuh terjerembab dengan tangan kanan patah.

Trauma?

Ya!

Bagi Ambo Dahlan, sepakbola di kampung membuatnya berada pada pilihan yang pahit: menang tak mengubah nasib, sementara ancaman cedera tragis adalah risiko yang selalu nyata di depan mata.

“Saya yang membopong Andi Ando, teman akrabku itu. Saya lihat tulang tangan kanannya yang sudah menyembul. Luar biasa sakitnya,” kenang Ambo Dahlan.

Sejak saat itu, sepakbola di Bambalamotu menjadi senyap sesaat. Namun, denyutnya tak berhenti. Impi-impi pemuda kampung seperti Ambo Dahlan adalah berjaya di kampung sejaya-jayanya. Syukur mendapatkan bayaran.

Sementara itu, di atas sana, sepakbola di level yang lebih atas, hanya terdengar sayup-sayup dari mulut ke mulut. Ambo Dahlan tentu tahu PSM Makassar, kenal sekelebatan nama klub Persib Bandung maupun Persija Jakarta.

Tentu saja, ia juga mendengar ada kesebelasan Timnas. Termasuk informasi kehebatan Andi Ramang di alam bawah sadar Ambo Dahlan. Berita wah yang bekerja dan sampai di Bambalamotu, Ramang bukan hanya dewa penendang salto di kotak 16, tapi juga penendang geledek.

“Hebat itu Ramang. Kalau dia menendang 12 pas, beberapa kali bola kulit itu terbelah,” tutur Ambo Dahlan serius dan di bibirnya tersungging kekaguman yang berlebih.

Makassar yang jauhnya hampir 700-an kilometer dari Bambalamotu adalah jarak yang sangat jauh. Butuh waktu 10 hari menaiki perahu tradisional untuk bisa terhubung. Jarak yang demikian yang membikin para bintang yang berjarak itu tampak sebagai para dewa tanpa cela.

Tak ada dalam benak Ambo Dahlan di perkampungan kecil macam Bambalamotu itu bahwa Ramang kemudian dicekal dari Timnas karena terbukti secara meyakinkan terlibat dalam sejumlah pengaturan skor oleh penjudi bola.

Jarak yang jauh melahirkan kekaguman. Tak hanya Ramang, tapi juga stadion. Dan, kekaguman itu selalu ada dalam kepala Ambo Dahlan, walaupun sepakbola makin kerap ia tonton di televisi jika tak sedang “diacak”.

Candu sepakbola membikin Ambo selalu melihat sepakbola di kasta tertinggi dalam gambaran sebuah kahyangan.

Keberangkatannya ke Jawa di pekan ketiga Agustus hingga medio September adalah perjalanan terbaiknya di usia ke-73. Ia sudah menyaksikan garis pantai Malaysia di usia muda lewat trek ilegal dengan membawa kopra. Ia juga sudah sampai ke Kota Surabaya dan Gresik di tahun 1963 lewat kapal dagang kayu dengan menggunakan layar.

Namun, tak ada kesan yang lebih semringah dan menyegarkan saat ia memasuki stadion Maguwoharjo International Stadium, memuji tiada henti delapan ribuan suporter Tribun Selatan yang tiada henti menyanyi, serta mulutnya kerap berteriak keras saat pemain sayap cepat PSS Sleman, Rifal Lastori, menggiring bola lewat sayap ke areal pertahanan Persegres Gresik yang sudah ditunggui Gonzales.

Mencintai bola sampai tua dan bungkuk itu niscaya. Namun, memasuki stadion megah pertama kali di usia ke-73 bagi pemain tarkam di pesisir Sulawesi seperti Ambo Dahlan adalah sebuah anugerah.

Terima kasih tentu saja diucapkan secara lepas untuk Sleman Football atas tiket pertandingan 4 September. Itu tiket historis bagi seorang berusia sangat lanjut yang berjalan terbungkuk-bungkuk menyusuri lantai Stadion Maguwoharjo.

Di sepetak kebunnya yang jauh di perkampungan pesisir Sulawesi, PSS Sleman akan dikenang-kenang Ambo Dahlan sebagai yang pertama dan utama bahwa sepanjang usia kecintaan pada sepakbola, ia pernah melihat secara langsung dari tribun bagaimana sepakbola dimainkan.

“Soal lampu stadion yang saya bingungkan, sudah saya tahu jawabannya. Lega sudah saya,” kata Ambo Dahlan sembari tersenyum.

Senyumnya lepas sekali.*