Jika Anda dalam enam bulan terakhir (masih) jalan-jalan ke toko buku, Anda akan disergap sebuah pemandangan: buku bertopik ajakan hidup minimalis menempati buku terlaris. Sebut saja buku Francine Jay, Seni Hidup Minimalis, dengan sampul kuning yang tak kalah minimalisnya. Atau, buku Marie Kondo, The Life-changing Magic of Tidying Up.
Dua buku itu mengantar kita mengenal dan “membebaskan diri” dari belantara dan ikatan benda-benda. Marie menyebutnya seni hidup beres-beres. Francine menyebutnya seni hidup minimalis. Islam menyebutnya seni hidup zuhud.
Zuhud atau beres-beres atau minimalis bukan sikap antibenda, antimateri, namun sikap untuk tidak terikat kepada benda-benda itu.Ramadan adalah madrasah zuhud saat kita melakukan pembebasan diri dari kepungan benda-benda, dari hasrat untuk berbelanja, dari hasrat ingin ini dan ingin itu. Zuhud menempatkan kita menjadi filter dan gerbang menyeleksi benda-benda hadir dalam kehidupan kita. Zuhud adalah pernyataan sikap untuk tidak dikuasai benda-benda.
Di Jepang, tutur Marie Kondo, orang berbondong-bondong ikut pelatihan dan membayar berapa pun bagaimana membereskan benda-benda di rumah yang membebani kehidupan mereka dari pagi hingga tidur lagi. Kita mengeluh, ekonomi makin membaik, namun hidup makin sesak dan tak punya banyak waktu luang. Bahkan, untuk mengurusi benda-benda itu, kita mengeluarkan dana ekstra menyewa tenaga baru.
Itulah fakta yang terjadi dalam masyarakat urban yang terpapar tiada henti oleh bujuk rayu benda-benda yang makin ke sini makin mudah dan cepat sampai ke pintu rumah. Kita tak punya lagi daya untuk membedakan mana barang yang dekoratif, mana barang fungsional, dan mana barang emosional. Kita menjadi tampak pandir berhadapan dengan pilihan: mana benda kebutuhan dan mana yang keinginan keinginan semata.
Saat sebagian besar hidup dihabiskan hanya untuk “beres-beres”, betapa malangnya hidup seperti itu. Itulah sebabnya, ada gelombang kerinduan untuk berjarak dari benda-benda yang betul-betul tidak dibutuhkan, namun selalu ada dalam ruangan.
Tentu saja, itu tak mudah. Francis Jane, si Miss Minimalis dari Oregon yang sudah kita kutipkan judul bukunya di awal, juga mengiyakan betapa tak mudahnya menjadi orang yang berpikiran minimalis di dunia media massa. Apa yang ada di media massa, terutama televisi? Benda-benda itu hadir nyaris 24 jam dengan satu misi untuk dipajang di rumah kita.
Contoh terbaik dari figur yang mengamalkan dengan sangat paripurna hidup minimalis (konsumin) adalah sosok yang namanya “wajib” disebutkan para juru dakwah di atas mimbar selama Ramadan: Muhammad.
Muhammad-lah yang memperkenalkan perintah Tuhan bahwa Ramadan adalah madrasah hidup minimalis. Dia juga menjadi lulusan terbaiknya. Ia tak punya banyak koleksi pakaian. Tak juga tumpukan perabot dalam rumah. Apalagi kendaraan di garasi. Bahkan, setelah ia wafat di usia 63 tahun, tim inventaris negara mencatat begitu sedikit barang yang ia miliki. Bahkan, tanah pun hanya secuil.
Ramadan datang untuk menginterupsi kebiasaan hidup yang konsumtif dan keinginan untuk mengakumulasi benda ini dan itu. Ini semacam workshop hidup agar tidak semrawut dan membatasi diri dengan keras.
Gandhi bilang, hiduplah sederhana agar orang lain dapat hidup.
Ramadan adalah abstraksi radikal dari “hidup sederhana” agar benda-benda itu tak menghalangi kita bermunajat kepada Tuhan dengan sepenuh keikhlasan hati.
Nah, agar hati bisa lunak, mula-mula berjarak dari makanan, minuman, dan hasrat yang berlebihan pada suatu sekuensi tertentu yang tata caranya sudah digariskan.
Lihat, tak ada relasi antara keikhlasan dan kepemilikan benda-benda.
Malahan, keikhlasan itu mesti dilatih untuk banyak memberi yang dalam bahasa agama disebut: zakat, infak, dan sedekah.
Dalam seni hidup minimalis, istilah agama itu bernama reduce. Betul, itu kata pertama dari tiga “r” yang kerap diucapkan dalam kampanye lingkungan. Reducing, tulis Francis Jane, adalah awal untuk menyelamatkan sumber daya, tenaga kerja, dan proses yang padat energi.
Perbanyak amal mengurangi merupakan titik balik dari seni menjadi seorang konsumin.
Bukan itu saja, dengan mengurangi bukan saja kita bebas dari sesak oleh kepungan benda-benda, namun juga menguatkan kohesi sosial.
Bahasa agama lebih subtil lagi, dengan berzakat dan berbagi (mengurangi), kita turut membersihkan (spiritualitas) harta kita.
Ya, Ramadan memang menginterupsi dua sekaligus, perubahan pola pikir lewat pesantren ruhani dan amalan jasmani dengan cara mengekang diri dari banyak keinginan.
Tiap tahun dalam 12 bulan berjalan, workshop hidup minimalis ini rutin diselenggarakan Tuhan. Mestinya, makin ke sini, kita makin dekat untuk menyandang predikat sebagai lulusan terbaik yang teladan terbesarnya terpatri pada diri Sang Nabi.* Pertama kali dimuat di Radar Sulteng, 15 Mei 2019