Guru Kobayashi dari Sirenja

Saya membaca buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela dengan masygul saat tahun pertama mengikuti perkuliahan di kampus yang tugasnya mencetak manusia menjadi guru. Buku itu beredar dari tangan ke tangan. Entahlah, saya tangan ke berapa.

Buku ini istimewa justru karena bahasanya sederhana, sampulnya juga sederhana, ceritanya juga sederhana. Justru dengan banyak predikat “sederhana” itu buku cerita yang diambil dari pengalaman penulisnya ini yang membuat buku ini tidak biasa. Memecahkan rekor penjualan terbanyak dalam sejarah penerbitan buku di Jepang dalam kurun semasa adalah salah satunya.

Bahan baku buku ini adalah memoar Tetsuko Kuroyanagi yang disebut “gadis cilik di jendela”. Totto-chan adalah gadis belia periang, banyak gerak. Tidak betah duduk rapi dalam kelas. Juga, penanya yang “sadis”. Keingintahuannya banyak. Guru dan sistem pengajaran sekolah negeri yang konvensional pastilah kewalahan menangani siswa semacam Totto-chan ini.

Si gadis bernama Totto ini pun dikeluarkan. Oleh ibunya, Totto
dipindahkan ke sebuah sekolah di mana kelasnya menggunakan gerbong kereta api yang sudah tak terpakai. Sekolah Tomoe Gakuen itu, ahai, membikin Totto terperangah. Dia seperti tidak percaya bahwa ada sekolah sekeren Tomoe Gakuen. Sistemnya yang longgar, mata pelajarannya yang membumi, dan kepala sekolahnya seperti menyihir mata hatinya.

Sekolah Tomoe tidak terpaku pada jadwal pelajaran. Ia mencatat di papan pelajaran apa saja yang ingin diketahui siswanya hari itu. Siswa kemudian memilih. Dan, yang disukai siswa tentu saja adalah pelajaran jalan-jalan. Semua siswa meninggalkan kelas dan berkeliling saja.

Dalam perjalanan itulah Pak Kobayashi menrangkan banyak hal, dari ilmu hayat hingga fisika kehidupan, dari ilmu sosial hingga ilmu sejarah. Siswa-siswa tidak merasa menyerap ilmu pengetahuan karena diselenggarakan sambil jalan-jalan. Juga, sambil berkemah dan berenang.

Satu lagi pelajaran paling disukai Totto. Apa itu? Ya, makan bersama. Pak Guru Kobayashi tidak menentukan secara detail makanan apa yang dibawa siswa ke sekolah. Terserah. Yang penting ada dua jenis: dari gunung dan dari laut. Tak harus menjelaskan soal flora dan fauna atau pelajaran gizi di kelas yang kaku, Guru Kobayashi justru melakukannya saat makan-makan. Siswa bersemangat memilih sendiri menu makanan mereka dan melakukan pengelompokkan mana yang dari gunung mana yang dari laut.

Terkadang, di antara siswa saling menyumbang bekalnya kalau-kalau ada yang kurang dari gunungnya atau berlebih yang dari lautnya. Jika tidak, Pak Guru Kobayashi yang berteriak kepada istrinya dengan sandi: “sesuatu dari laut” atau “sesuatu dari gunung”. Pendek kata, yang penting di piring itu ada dari gunung dan ada dari laut. Bukan kemewahan dan mahalnya makanan yang diajarkan, tetapi unsur-unsur gizi tersedia secara seimbang.

Pelajaran “Pancasila” tentang gotong royong di piring meja makan
seperti itu sangat disukai Totto yang dalam kisah nyatanya kemudian memilih menjadi musisi sebagai jalan hidupnya.

Saya tahu kemudian “Pak Guru Kobayashi” dan sekolah bernama
“Tomoe Gakuen” adalah pondasi dasar pendidikan di Jepang.

Di pamungkas cerita, sekolah dasar dari gerbong kereta ini rata dengan tanah setelah Sekutu membobardirnya dalam sebuah perang besar yang kita kenal dengan “Perang Dunia II”.

Sebagai pondasi, “Tomoe Gakuen” sesungguhnya tak bisa musnah oleh bom. Sebab, ia pondasi, ia akar yang terpendam dan pengikat terkuat apa pun yang di atasnya. Bom atom tidak bisa memusnahkannya.

Pondasi yang kuat itulah yang membikin Jepang cepat “pulih” dari ganasnya Perang Dunia II. Saat Jepang luluh-lantak, yang dicari Kaisar pertama kali apakah guru-guru di Jepang masih ada. Yang dicari Kaisar adalah “Pak Guru Kobayashi”.

Di tangan “Pak Guru Kobayashi”-lah potensi seperti Totto-chan berkilau-kilau. Demi Jepang, demi kehidupan berkelanjutan. Tatkala berdiri di hadapan puluhan guru di SDN 19 Sirenja dalam lokakarya penulisan memoar, saya mengingat lagi “memoar” Tetsuko Kuroyanagi yang karena buku yang ditulisnya ini dia ditunjuk menjadi duta UNICEF untuk perbaikan kualitas pendidikan di Afrika.

Belum lagi, ada kesamaan sejarah mereka tentang apa arti kehancuran dan luluh-lantak. Kecamatan Sirenja di mana guru-guru sekolah dasar peserta lokakarya penulisan memoar ini tinggal dan hidup merupakan hulu atau kandang gempa bumi yang membikin Indonesia menangis berpekan-pekan untuk Sulawesi Tengah.

Para guru sekolah dasar ini dengan antusias dan mata penuh
keingintahuan menempati kursi yang biasa diduduki oleh siswa-siswa mereka.

Ya, umumnya, 20 penulis memoar dalam buku ini masih dalam satu generasi semasa dengan usia buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela itu. Sebagaimana Tetsuko, mereka juga bekerja keras mengingat kembali saat mereka dalam posisi seperti si Totto-chan.

Buku memoar 20 guru yang bertebaran di antero Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala dengan judul Dalam Kelas Kehidupan ini kemudian menjadi kisah tentang jalan hidup membangun semangat keguruan di perkampungan. Merekalah yang menjadi garis depan proyek pencerahan negara hingga ke daerah-daerah terdepan batas negara.

Memoar mereka adalah cerminan proses yang rumit dan panjang hingga sampai di depan kelas mengaplikasikan harapan negara lewat apa yang disebut kurikulum. Kesaksian mereka merupakan “wakil suara” bagaimana praktik kurikulum bekerja di lapangan paling dasar proyek pengajaran nasional.

Di satu sisi memoar mereka menggambarkan posisi seperti si Totto, tetapi di pihak lain mereka berperan sebagai Pak Guru Kobayashi. Posisi guru dan murid, dalam konteks pendidikan kehidupan yang luas, bisa dipertukarkan kapan saja. Lengkap dengan kisah pilu yang mengiringinya.

Buku ini adalah awal dari guru-guru sekolah dasar di banyak kampung di Sirenja yang mengisahkan kegamangan dan sekaligus juga kegembiraan; kepahitan dan sekaligus juga kebanggaan. Lewat memoar ini, kita menjadi tahu betapa menjadi guru adalah juga sebuah perjuangan yang layak disematkan dengan tanpa tanda jasa. Demi garis edar sebuah generasi, mereka menyalakan dan menjaga dian itu hingga hari pensiun tiba.