TTS sebagai Bayangkara Pengetahuan Umum

Saya kaget dan tepatnya masygul ketika alaf ketiga pertama muncul dari langit timur Indonesia pada Sabtu di purnama pertama tahun 2000. Satu-satu koran Indonesia menyapa pembaca di milenium baru dalam bentuk baru dan konten yang bersifat everlasting.

Kompas tampil 80-an halaman dengan tampilan yang tak pernah ada preseden sebelumnya di semua format.

Begitu juga Jawa Pos yang hadir dengan lain sama sekali dengan edisi-edisi sebelumnya. Ini bukan edisi akhir tahun. Bahkan, bukan pula edisi awal abad. Ini edisi awal milenium, alaf ketiga.

Lebih mengagetkan lagi, teka-teki silang (TTS) tampil gigantis di hari itu. Ia mengambil lima halaman penuh dari 48 halaman yang tersedia. Artikel-artikel lain hanya mendapatkan jatah satu atau bahkan setengah halaman, tapi TTS tidak. Halaman 41, 42, 43, 44, 45 mutlak diokupasi TTS.

Dan, TTS yang hadir merayakan peralihan 1000 tahun itu tampil dengan 1000 pertanyaan; mulai dari mendatar 1 (4 petak): “Pokok pikiran, topik” hingga pertanyaan mendatar ke-1000 (4 petak): “Makna, maksud”.

Pertanyaannya, apa “makna dan maksud” dari gigantisme TTS seperti itu. “Pokok pikiran, topik” apa yang ingin disampaikan?

Bahwa, hadiah TTS Milenium itu luar biasa besar dan tak ada tanding dalam abad 20, iya. Hadiahnya: 1 mobil Opel Blazer Mantera untuk pemenang pertama.

Koran ingin menyampaikan bahwa “makna dan maksud” dari TTS itu bukan sekadar permainan, sekadar gim. Ini adalah ejawantah dari fungsi media sebagai pengawal pengetahuan umum publik. Ia memastikan publik tetap memiliki pengetahuan umum untuk disebut ter-literasi.

Apa yang disebut pengetahuan umum itu? Ya, nama bendera, lagu kebangsaan negara, bahasa (arti dan sinonim), tokoh-tokoh penting, nama kantor berita, lembaga negara, pakaian (sandang), rumah (papan), kuliner (pangan), geografi, dan seterusnya.

Jika di Amerika diurutkan lebih kurang 500 pertanyaan umum yang paling tidak diketahui warga negara jika disebut sudah teredukasi, kita tidak memiliki prasyarat itu. Dan, media mengambilnya sebagai pemandu pengetahuan publik di suatu zaman.

Fungsi TTS itu mengingatkan dengan tradisi besar intelektual modern melakukan kodifikasi dan pengoleksian pengetahuan dalam bentuk almanak, direktori, kamus, maupun ensiklopedia. Saya kira, apa yang dikerjakan Iwan Gayo dengan serial “Buku Pintar”-nya yang terkenal itu seirama dengan “makna dan maksud” dari kehadiran TTS ini.

Bedanya, TTS tampil sebagai permainan pemacu ingatan atas pengetahuan. Tiap pekan (untuk koran) dan tiap edisi (untuk majalah), media-media itu menguji perkembangan pengetahuan warganya.

Dari TTS inilah kita bisa mengetahui standar pengetahuan umum warga itu sudah sampai di level mana.

Saya ajak pembaca turun ke tahun 1940, saat Eropa sedang berada dalam gelombang perang. Dan, mari membuka secara random majalah anak bernama Taman Kanak-Kanak atau redaksi menyingkatnya menjadi T.K.2, khususnya edisi 6 Januari. Majalah terbitan Balai Pustaka yang beralamat di Batavia-Centrum ini adalah, seperti namanya, ya, majalah anak. Tentu saja, seluruh rubrik mewakili pengetahuan anak.

T.K.2 menampilkan TTS dengan sebutan “Teka-Teki Gedoeng Tinggi” karena petak-petak dibikin sedemikian rupa menyerupai gedung bermenara. Jumlah pertanyaan pun sedikit belaka. Baris mendatar 6, sementara baris ke bawah 12. Dan, inilah pertanyaannya (saya ketik secara verbatim):

Baris mendatar:
1. Sendjata dalam perang (3 petak)
2. Lawan laba (5 petak)
3. Kalau tidak beroebah (5 petak)
4. Sama artinja dengan seroepa (Mel. Djawa) (5 petak)
5. Ada dalam soengai (5 petak)
6. Kantor penerbit boekoe jang terkenal di Betawi (13 petak)

Baris kebawah:
1. Nama negeri jang banjak menghasilkan minjak di Borneo (10 petak)
2. Nama negeri dipantai Oetara Djawa Tengah (7 petak)
7. Penoetoep soerat jang berharga (3 petak)
8. Nama danau di Selebes (4 petak)
9. Nama negeri di Djawa, tempat kedoedoekan seorang radja (4 petak)
10. Nama negeri di Borneo, jang terkenal intannja.
11. Benda jang bergoena bagi manoesia (3 petak)
12. Nama seboeah negeri diresidensi Kedoe (Djawa Tengah) (7 petak)

Pembaca dewasa, coba uji pengetahuan umummu di situ. Tapi, saya ingatkan, pertanyaan di petak-petak itu untuk konsumsi pembaca Taman Kanak-Kanak, ya.

Dari ke-18 pertanyaan itu kita meraba “standar pengetahuan umum” macam apa yang mesti dimiliki setiap yang terdidik sesuai levelnya. Sehingga, ketika si pembaca T.K.2 ini sudah duduk di “universiteit“, ia sudah selesai dengan pertanyaan-pertanyaan dasar, pengetahuan umum. Ia sibuk berjibaku dengan inovasi, diskursus, advokasi, dan seterusnya. Sibuk berdebat substansi konstitusi, undang-undang, dan sebagainya.

Yang masih mengganjal pada saya adalah penerjemahan populer Indonesia atas kata “Crossword” menjadi “Teka-teki”. Teka-teki umumnya merujuk kepada sesuatu yang misterius, tertutup rapat, liang gelap, tersembunyi, lembab, dan seterusnya. Semacam spy, serupa dunia intelijen, tapi terformat dalam permainan inteligensi atau kecerdasan atau akal.

Baca kalimat pembuka yang mirip komando dari majalah Garuda No. 27, 20 Juli 1952 ini untuk “Teka-teki ,SILANG’ No. 8”:

,,Djika kamu ingin untung, bukalah akalmu!” demikian utjapan djuru nudjum bangsa India jang sering kita djumpai dihotel-hotel, setasiun, pasar dan tempat2 jang ramai. Nah, sekarang kami persilahkan saudara2 membuka, dengan mentjari kata2 jang bersesuaian dengan kata2 dibawah ini: …”

Meminjam judul puisi Wiji Thukul, “Teka-Teki yang Ganjil” (1993), dunia TTS ini memang ganjil. Bayangkan, akal, juru nujum, dan teka-teki berada dalam satu trek dengan satu legasi: bayangkara pengetahuan umum publik.*

# Dipublikasikan Jawa Pos pertama kali pada 1 Juli 2022 bertepatan dengan edisi khusus “Ulang Tahun Jawa Pos ke-73”.